Minggu, 22 Mei 2011

KESEHATAN JIWA (MENTAL HEALTH)

A. Pengertian Kesehatan Jiwa/Mental
Kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri). Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh semua keadaan.
Kedua, pakar lainnya, Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta" (1984) mengemukakan lima buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan-rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya.
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan social secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya sendiri.
5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.
Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.
Ketiga, menurut M.Buchori, kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip H.C. Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Keempat, Kartini Kartono dan Jenny Andari mengetengahkan rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka serta konflik batin.
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun
telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.

B. Ciri-Ciri Kesehatan Mental
Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisik yang kompleks. Pada abad kedua puluh, ilmu ini berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Kesehatan mental dipandang sebagai ilmu praktis yang banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk bimbingan dan penyuluhan yang dilaksanakan di rumah tangga, sekolah, kantor dan lembaga-lembaga maupun dalam kehidupan masyarakat.
Sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan mental juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian manusia tentang kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada pengertian gangguan dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan.
Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.
1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik.
2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial.
6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik.
Hanna Djumhana Bastaman merangkum pandangan-pandangan tentang kesehatan mental menjadi empat pola wawasan dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut:
1. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis
2. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri
3. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
4. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini dianggap sebagai kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu (psikosis).
Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhankebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi mudah terombang-ambing situasi.
Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab, kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan normanorma yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang buruk.
Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian. Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni:
- Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
- Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
- Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara ideal bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan, sifat, dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif. Sejalan dengan itu ia pun berupaya untuk menghambat dan mengurangi kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi sumber berbagai gangguan (dan penyakit) kejiwaan.
Dalam pergaulan ia adalah seorang yang luwes, dalam artian menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tanpa ia sendiri kehilangan identitas dirinya serta berusaha secara aktif agar berfungsi dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Ada benarnya juga bila orang dengan kesehatan mental yang baik digambarkan sebagai seseorang yang sehat jasmani-rohani, otaknya penuh dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, rohaninya sarat dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, dengan karakter yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya yang luhur. Pada dirinya seakan-akan telah tertanam dengan suburnya moralitas dan rasa adil dan makmur memberi manfaat dan melimpah ruah kepada sekelilingnya.

C. Hubungan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental
Fisik dan Psikis adalah kesatuan dalam eksistensi manusia. Yang menyangkut keehatannya juga terkenal juga terdapat saling berhubungan antara kesehatan fisik dan mental. Keadaan fisik manusia mempengaruhi psikis, sebaliknya psikis juga mempengaruhi fisik. Kasus-kasus di bidang kesehatan menunjukkan hal ini, misalnya orang yang depresi sangat mempengaruhi selera makan dan tidurnya. Sebaliknya makan seseorang mempengaruhi kemampuan intelegensi. Dalam saling keterpengaruhan itu akhirnya diketahui adanya psikis yang sehat dan psikis yang mengalami hambatan, gangguan, atau kerusakan. Demikian juga kita mengetahui adanya fisik yang sehat dan terganggu. Dengan pemeriksaan yang cermat kita juga mengetahui mana yang menjadi sebab dan yang menjadi akibat dari sebuah gangguan.
Goldberg (1984) mengungkapkan terdapat tiga kemungkinan hubungan antara sakit secara fisik dan mental ini. Pertama, orang yang mengalami sakit mental disebabkan oleh sakit fisiknya. Karena kondisi fisiknya tidak sehat, dia tertekan sehingga menimbulkan akibat sekunder berupa gangguan secara mental. Kedua, sakit fisik yang diderita itu sebenarnya gejala dari adanya gangguan mental. Ketiga, antara gangguan mental dan sakit secara fisik adanya saling menopang, artinya bahwa orang menderita secara fisik menimbulkan gangguan secara mental, dan gangguan mental itu turut memperparah sakitnya.

D. Upaya Mencapai Kesehatan Mental
Menurut Moeljono Notosoedirjo, guru besar psikiatri dan kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan beberapa kesehatan mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan psikologis berada dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi yang sehat. Kondisi optimum ini dapat dijadikan sebagai acuan dan arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahannya.
Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak sama secara tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature personality, dan banyak yang menyebut dengan mental health. Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagian berikut akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu persatu, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang kondisi mental yang sehat.
Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan Mittlemenn adalah sebagai berikut.
1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.
2. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya, (b) memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk akal, dengan perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.
3. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai, dengan orang lain), Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan memberi ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada suatu saat, tetapi dia harus memiliki alasan yang tepat.
4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan realitas) Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai (a) tiadanya fantasi yang berlebihan, (b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan. dan (c) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).
5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini ditandai dengan (a) suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima mereka tetapi bukan dikuasai; (b) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan; (c) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan tanpa rasa takut dan konflik; (d) kemampuan bekerja; (e) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas tersebut.
6. Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar). Termasuk di dalamnya (a) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya; dan (b) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri yang jujur adalah dasar kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau mengakui) sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.
7. Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan konsisten). Ini bermakna (a) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam beberapa aktivitas; (b) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan pandangan kelompok; (c) mampu untuk berkonsentrasi; dan (d) tiadanya konflikkonflik besar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi terhadap kepribadiannya.
8. Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (a) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; (b) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; dan (c) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
9. Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.
10. Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan memuaskan tuntutan kelompok). Individu harus: (a) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain dalam cara yang dianggap penting oleh kelompok: (b) terinformasi secara memadai dan pada pokoknya menerima cara yang berlaku dari kelompoknya; (c) berkemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya; (d) dapat menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan oleh kelompoknya: ambisi, ketepatan; serta persahabatan, rasa tanggung jawab, kesetiaan, dan sebagainya, serta (e) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.
11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya), Hal ini mencakup: (a) kemampuan untuk menganggap sesuatu itu baik dan yang lain adalah jelek setidaknya; (b) dalam beberapa hal bergantung pada pandangan kelompok; (c) tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok; dan (d) untuk beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap perbedaan budaya.
Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi sepenuhnya) sebagai bentuk kondisi mental yang sehat. Secara singkat fully functioning person ditandai (1) terbuka terhadap pengalaman; (2) ada kehidupan pada dirinya; (3) kepercayaan kepada organismenya; (4) kebebasan berpengalaman; dan (5) kreativitas.
Golden Allport (1950) menyebut mental yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming. Orang yang matang jika: (l) memiliki kepekaan pada diri secara luas; (2) hangat dalam berhubungan dengan orang lain; (3) keamanan emosional atau penerimaan diri; (4) persepsi yang realistik, ketrampilan dan pekerjaan; (5) mampu menilai diri secara objektif dan memahami humor; dan (6) menyatunya filosofi hidup.
D.S. Wright dan A Taylor mengemukakan tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah: (1) bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan; (2) efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya; (3) kurang dari kecemasan; (4) kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari kebutuhan self-punishment); (5) matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya; (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya; (7) memiliki otonomi dan harga diri; (8) mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain; dan (9) dapat melakukan kontak dengan realitas.
Berangkat dari definisi kesehatan mental yang berbeda-beda sesuai dengan bidang dan pandangan masing-masing, maka upaya pencapaiannya juga beragam. Kartini Kartono berpendapat ada tiga prinsip pokok untuk mendapatkan kesehatan mental, yaitu;
1. Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan kebutuhankebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial. Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhankebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik/makin banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.
2. Kepuasan.
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang, lalu timbullah Sense of Importancy dan Sense of Mastery, (kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang memberi rasa senang, puas dan bahagia.
3. Posisi dan status sosial
Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status social dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman/assurance, keberanian dan harapan-harapan di masa mendatang. Orang lalu menjadi optimis dan bergairah. Karenanya individu-individu yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman. Mereka senantiasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Dia tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan hari esok, jiwanya senantiasa bimbang dan tidak imbang.
Zakiah Darajat berpendapat kehilangan ketentraman batin itu, disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan perasaan, baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam masyarakat. Maka sebagai upayanya Zakiah Daradjat mengutip firman Allah SWT.

Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa dzikir itu bisa membentuk hati manusia untuk mencapai ketentraman. Dzikir berasal dari kata dzakara artinya mengingat, memperhatikan, mengena, sambil mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Biasanya perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk renungan sambil duduk berkomat-kamit. Al-Qur'an memberi petunjuk bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingat yang ditampilkan dengan komat-kamitnya lidah sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan kreatif.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang hubungan kesehatan fisik dan mental, Aliah B. Purwakania Hasan dalam bukunya Pengantar Psikologi Kesehatan Islami (2008) mengatakan, Selain melakukan usaha pengobatan medis (dokter dan obat-obatan), Islam mengajarkan oang yang sakit dengan memperbanyak dzikir, membaca Quran dan shalat. Dalam hal ini RS. Cipto Mangunkusumo pernah mempunyai pengalaman pengobatan menggunakan pendekatan secara Islam (dzikir, Quran, dan Shalat) pada Tahun 1966, 1967 sampai 1968.

E. Kesehatan Mental dalam Islam
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji
dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT.

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya.
Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.


KEPUSTAKAAN

Aliah B. Purwakania Hasan, Pengantar Psikologi Kesehatan Islami (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
A. F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental (Jakarta: Amzah, 2000)
Goldberg, D. The Recognition of Psychiatric Illness by Non-Psychiatrist. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry. 18. 1984
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
Kartini Kartono, dr. Jenny Andari, Hygine Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam (Bandung: CV. Mandar Maju, 1989)
Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep & Penerapan (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 1999)
Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, jilid 1, alih bahasa, Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)
Tristiadi Ardi Ardani. Psikiatri Islam (Malang: UIN Malang Press, 2008)
Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983)