Senin, 28 Desember 2009

Manaqib KH. Hasyim Asy'ari

JALAN DAKWAH
HADLRATUS SYAIKH K.H. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI


Hari ini kita semua akan mengenang perjalanan dakwah seorang tokoh nasional. Beliau ini bukan hanya milik Pondok Pesantren Tebuireng, melainkan milik umat Islam di negeri ini. Bahkan milik umat sedunia. Beliau dilahirkan 142 tahun yang silam dalam hitungan Hijriah, jika dalam hitungan Masehi 127 tahun. Tepatnya tanggal 24 Dzul Qo'dah 1287 Hijriah atau 14 Pebruari 1871. Beliau memiliki silsilah keturunan dari orang sholeh yang mengembangkan dakwah. Salah satu silsilah menyebutkan, bahwa beliau berasal dari keturunan dari menantu Sunan Gunung Jati yaitu Sayyid Abdurrahman bin Umar bin Muhammad bin Abu Bakar Basyaiban. Beliau berasal dari Hadlramaut Yaman.

Masa Kelahiran
Sebelum lahir, tanda-tanda khoriqul ‘addah telah tampak pada calon bayi Hadratus Syekh. 14 bulan lamanya beliau berada dalam kandungan sang ibu. Hal ini menandakan kecemerlangan bayi. Nyai Halimah, Sang Ibu, pernah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh dari langit tepat mengenai perutnya yang sedang mengandung.
Semasa mengandung pula, beliau menjalankan tirakat dan riyadhah berupa puasa, shalat malam, membaca Al-qur’an dan bedzikir. Suatu ketika beliau terkejut melihat berasnya berubah menjadi emas. Lalu beliau bergegas melaksanakan salat dhuha. Dan berdoa:“Ya Allah, hamba tidak meminta harta. Hamba hanya meminta agar keturunan hamba menjadi orang-orang yang baik dan berguna bagi agama-Mu”
Garis Nasab
Sudah menjadi sunnatullah, dimana orang baik menunjukkan nasabnya juga baik. Begitu juga Hadratus Syekh, bila ditarik ke atas nasab beliau akan bersambung kepada Nabi Muhmmad SAW, lewat Maulana Ishaq. Berikut rekapannya;
M. Hasyim bin M. Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdurrahman (Joko Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri) bin Ibrahim Asmoro (Palang Tuban) bin Jamaluddin Akbar al-Husaini bin Ahmad Jalaludin Syah bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Muhajir bin Alawi Hadramaut bin Muhammad Shahibu Marbat bin Ali Choli’ Qosan bin Alawi Muhammad bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Al-basri bin Muhammad An-naqib bin Ali Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Sayyidah Fatimah binti Rasulillah Muhammad SAW.
Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri Kiai Utsman, pendiri pondok Gedang. Karena beliau ahli thoriqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya.
Ayahnya, Kiai Muhammad Asy’ari, adalah seorang ulama’ tangguh berasal dari Jawa Tengah. Menuntut ilmu di Demak, Kudus, Jombang. Lalu beliau mendirikan masjid dan pondok di desa Keras Jombang. Dan di sanalah beliau dimakamkan. Menurut keyakinan masyarakat, tanah makam Kiai Asy’ari dapat digunakan untuk pengobatan.
Perjalanan Keilmuan Beliau
Ketika usianya mencapai 8 tahun, Hasyim kecil menerima didikan dari sang Ayah hingga usia 13 tahun. Sebelumnya ia telah dididik oleh kakeknya di pesantren Gedang.
Ketika usinya genap 15 tahun beliau telah menimba ilmu ke berbagai pondok pesantren, semisal:
1. Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan
2. Pondok Pesantren Langitan Tuban
3. Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya
4. Pondok Pesantren Kiai Kholil Bangkalan Madura
5. Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo
Beliau belum puas dengan apa yang telah didapatnya. sekitar tahun 1892 M. beliau meneruskan menimba ilmu di kota suci Mekkah al Mukaromah pada guru-guru yang sangat disegani saat itu dan ulama'-ulama' besar, di antaranya yaitu:
1. Syech Nawawi al-Bantani
2. Syech Mahfudz at Turmusi,
3. Syech Abdus Syakur asal Surabaya
4. Syech Syuaib bin Abdurrahman
5. Syech Khotib Minangkabau
6. Syech Ahmad Amin al Aththar
7. Syech Ibrahim Arab
8. Syech Said Yamani
9. Syech Rahmatullah
10. Syech Sholeh Bafadlol
11. Sayyid Abbas Al Maliki (Kakek Abuya Sayyid Muhammad al Maliki)
12. Sayyid Sulthon Hasyim ad Dagrustani
13. Sayyid Abdullah az Zawawi
14. Sayyid Ahmad bin Hasan al Aththos
15. Sayyid Alwi bin Ahmad as Saqqaf
16. Sayyid Abu Bakar Syatha ad Dimyati
17. Sayyid Husain al Habsyi
Beliau menimba ilmu di Mekkah selama tujuh tahun. Pada saat beliau hendak kembali mengabdikan ilmunya di tanah kelahirannya. Saat akan pulang beliau bersama temen-temennya yang dari berbagai negara, di antaranya Birma, Turkistan, Malaisia dan Afrika mendiskusikan kondisi masing-masing negerinya. Bahan diskusinya adalah cengkraman kolonial Belanda. Bagaimana peran dan strategi dalam melawan bangsa penjajah, Belanda. Inilah kegelisahan yang ada dalam darah muda Kyai Hasyim As'ari.
Gerakkan Dakwah; Jalin Ukhuwah dan Rapatkan Barisan
Di depan Multazam-Ka'bah, di malam Romadlon, mereka bersepakat untuk membuat gerakkan dakwah secara strategi yang matang dalam membina umat. Gerakkan dakwah dimaksudkan untuk mengusir bangsa penjajah, seperti bangsa Belanda. Semangat muda untuk menyebarkan dakwah yang lurus merupakan karakter beliau. Tanpa ada pamrih duniawi. Apalagi beliau mendapatkan isnad Bukhori dari Syech Mahfudz at Turmusi. Landasan keilmuan yang luas, mendalam dan lurus menjadi modal yang sangat bermakna bagi beliau dalam membangun tatanan dakwah dan jam'iyah.
Sekitar tahun 1899 beliau memulai membangun komunitas dakwah di daerah Tebuireng Jombang, yaitu di sini ini. Merintis komunitas dakwah pasti mendapatkan beribu hambatan dan rintangan. Selain rintangan dari para pemabuk, para penjahat, dan orang-orang awam. Beliau mendapatkan serangan dari para pembesar bangsa penjajah, Belanda. Komunitas yang dibangun beliau merupakan ancaman bagi Belanda, maka bangsa penjajah ini menggunakan segala cara untuk menghentikan langkah dakwah Kyai Hasyim As'ary. Mulai dari fitnah, serangan fisik, dan tipu daya. Walhasil pada tahun 1914 pasukan bangsa penjajah membumihanguskan komunitas dakwah Tebuireng. Semua bangunan dihancurkan. Kitab-kitab rujukan dibakar. Dan para santri, para penduduk yang sudah setia juga menjadi korban kebrutalan bangsa penjajah.
Jiwa besar seorang ulama' sebagai pewaris nabi dan sekaligus seorang pejuang, tidak luntur, tidak lenyap, dan tidak takut dengan segala resiko dalam membangun komunitas dakwah. Strategi beliau pasca serangan Belanda adalah membangun kekuatan dengan menjalin komunikasi dan koordinasi seluruh pesantren di Jawa dan Madura. Sosok beliau yang teguh dalam memegang prinsip dan teguh dalam menjalankan fungsi gerakkan melalui jalinan komunikasi dan koordinasi mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan. Yang semula dakwahnya pisah-pisah, belum ada ikatan komunikasi dan koordinasi akhirnya terbentuk. Berawal dari sini, Tebuireng menjadi kiblat pesantren terutama di Jawa dan Madura. Sekali lagi, beliau memulai mengikat tali ukhuwah yang lepas dan tercerai berai agar menjadi ikatan sapu lidi yang memiliki makna dan kekuatan.
Pada akhir abad 19 memasuki awal abad 20 perkembangan dan tantangan dakwah berkembang. Tidak lagi dari bangsa penjajah, tetapi dari paham yang diadopsi dari pemikiran Rasyid Ridlo dan Muhammad Abduh, mulai dikembangkan di masyarakat. Mereka inilah yang sejak awal menamakan dirinya kelompok modernis. Komunitas yang terbangun mulai terjadi keretakkan akibat racun khilafiah yang dibesar-besarkan oleh kaum modernis. Dua tantangan harus dihadapi oleh beliau. Kecerdasan dan wawasan ke depan yang luar biasa, maka beliau kemudian menggagas gerakkan para ulama agar bersatu, bangkit melawan penjajah di bawah payung koordinasi dan komunikasi sehingga tidak tercerai berai. Gerakkan jam'iah yang beliau pimpin berkembang dengan baik, pesat mendapat dukung para pejuang dan ulama'. Hal ini semua merupakan keberhasilan beliau dalam mendirikan, memimpin, merawat Nahdlotul Ulama' (31 Januari 1926). Yaitu jam'iah gerakan dakwah para ulama'. Kebesaran belaiu dengan Nahdlotul Ulama'-nya menjadikan bangsa penjajah ketakutan dan merencanakan serangan untuk menghancurkan. Berbagai tipu daya dirancang oleh bangsa penjajah.
Kebesaran Kyai Hasyim menyedot para tokoh pejuang untuk meminta pentunjuk, fatwa dan do'a. Semisal Bung Tomo, Jendral Sudirman dan tokoh-tokoh lainnya. Salah satu fatwa Kyai Hasyim adalah ditetapkannya perang suci dalam melawan NICA. Gerakkan beliau dalam mengobarkan api perjuang dijalankan terus hingga akhir kehidupan beliau. Tujuh Romadlon 1366 H atau 25 Juli 1947 sekitar pukul 3 pagi beliau dipanggil oleh Allah Ta'ala. Gerakkan yang telah beliau rintis ditinggalkan untuk dilanjutkan. Siapakah yang akan melanjutkannya. Tentu para ulama'.
Jika tidak berlebihan kami akan menitik beratkan pada simpulan bahwa visi, misi, tujuan, target dan program gerakkan dakwah Kyai Hasyim As'ari adalah upaya membangun jalinan komunikasi antar ulama, antar pimpinan lembaga dakwah, antar khodimul ma'had, para pengasuh pesantren dan seluruh pejuang, ini yang pertama.
Kedua adalah upaya secara sistematis dalam membangun komunitas menegakan kehidupan yang dilandasi oleh syariat Islam. Beliau secara konsisten mempertahankan syariat Islam hingga akhir kehidupan beliau. Mari kita lihat perjuangan beliau, di samping melalui NU juga melalui Masyumi. Beliau memimpin gerakkan yang diusung oleh Masyumi. Lebih dalam lagi kita dapat melihat bagaimana semasa perjuang beliau dengan para tokoh Islam telah meletakkan landasan bernegara dalam piagam Jakarta.
Ketiga adalah melancarkan serangan pada bangsa penjajah merupakan perang suci. Jihad fi sabillah. Selamanya bangsa penjajah akan mematikan api perjuangan. Kyai Hasyim As'ari telah meneladani bagaimana cara melawan dan strategi dalam menghadapi bangsa penjajah. Dapat ditelusuri dalam sejah beliau, bahwa beliau juga pernah di penjajar oleh bangsa penjajah di Jombang dan Mojokerto.
Keempat, jam'iyah yang beliau bangun dan ditinggalkan pada kita, para ulama' ini semestinya diteruskan untuk menjalankan fungsi sesuai tujuan syariat Islam itu diturunkan.