Jumat, 16 Desember 2011

INFO ORANG HILANG


Gambar di atas adalah seorang pemuda yang diketemukan oleh salah seorang warga Sumenep dengan kondisi memprihatinkan (depresi). Bagi siapa saja yang mengenal/mencari bisa menghubungi 087850372748, 087850139037

Minggu, 22 Mei 2011

KESEHATAN JIWA (MENTAL HEALTH)

A. Pengertian Kesehatan Jiwa/Mental
Kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri). Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh semua keadaan.
Kedua, pakar lainnya, Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN "Syarif Hidayatullah Jakarta" (1984) mengemukakan lima buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan-rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya.
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan social secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya sendiri.
5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.
Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.
Ketiga, menurut M.Buchori, kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip H.C. Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Keempat, Kartini Kartono dan Jenny Andari mengetengahkan rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka serta konflik batin.
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun
telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.

B. Ciri-Ciri Kesehatan Mental
Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisik yang kompleks. Pada abad kedua puluh, ilmu ini berkembang dengan pesatnya sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Kesehatan mental dipandang sebagai ilmu praktis yang banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk bimbingan dan penyuluhan yang dilaksanakan di rumah tangga, sekolah, kantor dan lembaga-lembaga maupun dalam kehidupan masyarakat.
Sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan mental juga mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian manusia tentang kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada pengertian gangguan dan penyakit jiwa. Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan.
Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.
1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik.
2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial.
6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik.
Hanna Djumhana Bastaman merangkum pandangan-pandangan tentang kesehatan mental menjadi empat pola wawasan dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut:
1. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis
2. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri
3. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
4. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini dianggap sebagai kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu (psikosis).
Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhankebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi mudah terombang-ambing situasi.
Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab, kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan normanorma yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang buruk.
Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian. Berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni:
- Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
- Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
- Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
- Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara ideal bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan, sifat, dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif. Sejalan dengan itu ia pun berupaya untuk menghambat dan mengurangi kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi sumber berbagai gangguan (dan penyakit) kejiwaan.
Dalam pergaulan ia adalah seorang yang luwes, dalam artian menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tanpa ia sendiri kehilangan identitas dirinya serta berusaha secara aktif agar berfungsi dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Ada benarnya juga bila orang dengan kesehatan mental yang baik digambarkan sebagai seseorang yang sehat jasmani-rohani, otaknya penuh dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, rohaninya sarat dengan iman dan taqwa kepada Tuhan, dengan karakter yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya yang luhur. Pada dirinya seakan-akan telah tertanam dengan suburnya moralitas dan rasa adil dan makmur memberi manfaat dan melimpah ruah kepada sekelilingnya.

C. Hubungan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental
Fisik dan Psikis adalah kesatuan dalam eksistensi manusia. Yang menyangkut keehatannya juga terkenal juga terdapat saling berhubungan antara kesehatan fisik dan mental. Keadaan fisik manusia mempengaruhi psikis, sebaliknya psikis juga mempengaruhi fisik. Kasus-kasus di bidang kesehatan menunjukkan hal ini, misalnya orang yang depresi sangat mempengaruhi selera makan dan tidurnya. Sebaliknya makan seseorang mempengaruhi kemampuan intelegensi. Dalam saling keterpengaruhan itu akhirnya diketahui adanya psikis yang sehat dan psikis yang mengalami hambatan, gangguan, atau kerusakan. Demikian juga kita mengetahui adanya fisik yang sehat dan terganggu. Dengan pemeriksaan yang cermat kita juga mengetahui mana yang menjadi sebab dan yang menjadi akibat dari sebuah gangguan.
Goldberg (1984) mengungkapkan terdapat tiga kemungkinan hubungan antara sakit secara fisik dan mental ini. Pertama, orang yang mengalami sakit mental disebabkan oleh sakit fisiknya. Karena kondisi fisiknya tidak sehat, dia tertekan sehingga menimbulkan akibat sekunder berupa gangguan secara mental. Kedua, sakit fisik yang diderita itu sebenarnya gejala dari adanya gangguan mental. Ketiga, antara gangguan mental dan sakit secara fisik adanya saling menopang, artinya bahwa orang menderita secara fisik menimbulkan gangguan secara mental, dan gangguan mental itu turut memperparah sakitnya.

D. Upaya Mencapai Kesehatan Mental
Menurut Moeljono Notosoedirjo, guru besar psikiatri dan kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan beberapa kesehatan mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan psikologis berada dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi yang sehat. Kondisi optimum ini dapat dijadikan sebagai acuan dan arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahannya.
Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak sama secara tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature personality, dan banyak yang menyebut dengan mental health. Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagian berikut akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu persatu, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang kondisi mental yang sehat.
Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan Mittlemenn adalah sebagai berikut.
1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.
2. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya, (b) memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk akal, dengan perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.
3. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai, dengan orang lain), Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan memberi ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada suatu saat, tetapi dia harus memiliki alasan yang tepat.
4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan realitas) Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai (a) tiadanya fantasi yang berlebihan, (b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan. dan (c) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).
5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya). Hal ini ditandai dengan (a) suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima mereka tetapi bukan dikuasai; (b) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan; (c) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan tanpa rasa takut dan konflik; (d) kemampuan bekerja; (e) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas tersebut.
6. Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar). Termasuk di dalamnya (a) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya; dan (b) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri yang jujur adalah dasar kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau mengakui) sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.
7. Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan konsisten). Ini bermakna (a) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam beberapa aktivitas; (b) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan pandangan kelompok; (c) mampu untuk berkonsentrasi; dan (d) tiadanya konflikkonflik besar dalam kepribadiannya dan tidak dissosiasi terhadap kepribadiannya.
8. Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (a) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; (b) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; dan (c) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
9. Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.
10. Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan memuaskan tuntutan kelompok). Individu harus: (a) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain dalam cara yang dianggap penting oleh kelompok: (b) terinformasi secara memadai dan pada pokoknya menerima cara yang berlaku dari kelompoknya; (c) berkemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya; (d) dapat menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan oleh kelompoknya: ambisi, ketepatan; serta persahabatan, rasa tanggung jawab, kesetiaan, dan sebagainya, serta (e) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.
11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya), Hal ini mencakup: (a) kemampuan untuk menganggap sesuatu itu baik dan yang lain adalah jelek setidaknya; (b) dalam beberapa hal bergantung pada pandangan kelompok; (c) tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk (menjilat), mendorong, atau menyetujui kelompok; dan (d) untuk beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap perbedaan budaya.
Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi sepenuhnya) sebagai bentuk kondisi mental yang sehat. Secara singkat fully functioning person ditandai (1) terbuka terhadap pengalaman; (2) ada kehidupan pada dirinya; (3) kepercayaan kepada organismenya; (4) kebebasan berpengalaman; dan (5) kreativitas.
Golden Allport (1950) menyebut mental yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming. Orang yang matang jika: (l) memiliki kepekaan pada diri secara luas; (2) hangat dalam berhubungan dengan orang lain; (3) keamanan emosional atau penerimaan diri; (4) persepsi yang realistik, ketrampilan dan pekerjaan; (5) mampu menilai diri secara objektif dan memahami humor; dan (6) menyatunya filosofi hidup.
D.S. Wright dan A Taylor mengemukakan tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah: (1) bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan; (2) efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan kebutuhannya; (3) kurang dari kecemasan; (4) kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari kebutuhan self-punishment); (5) matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya; (6) Mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya; (7) memiliki otonomi dan harga diri; (8) mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain; dan (9) dapat melakukan kontak dengan realitas.
Berangkat dari definisi kesehatan mental yang berbeda-beda sesuai dengan bidang dan pandangan masing-masing, maka upaya pencapaiannya juga beragam. Kartini Kartono berpendapat ada tiga prinsip pokok untuk mendapatkan kesehatan mental, yaitu;
1. Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan kebutuhankebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial. Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhankebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik/makin banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.
2. Kepuasan.
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang, lalu timbullah Sense of Importancy dan Sense of Mastery, (kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang memberi rasa senang, puas dan bahagia.
3. Posisi dan status sosial
Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status social dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman/assurance, keberanian dan harapan-harapan di masa mendatang. Orang lalu menjadi optimis dan bergairah. Karenanya individu-individu yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman. Mereka senantiasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Dia tidak mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan hari esok, jiwanya senantiasa bimbang dan tidak imbang.
Zakiah Darajat berpendapat kehilangan ketentraman batin itu, disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri, kegagalan, tekanan perasaan, baik yang terjadi di rumah tangga, di kantor ataupun dalam masyarakat. Maka sebagai upayanya Zakiah Daradjat mengutip firman Allah SWT.

Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Dalam ayat di atas dinyatakan bahwa dzikir itu bisa membentuk hati manusia untuk mencapai ketentraman. Dzikir berasal dari kata dzakara artinya mengingat, memperhatikan, mengena, sambil mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Biasanya perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk renungan sambil duduk berkomat-kamit. Al-Qur'an memberi petunjuk bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingat yang ditampilkan dengan komat-kamitnya lidah sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan kreatif.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang hubungan kesehatan fisik dan mental, Aliah B. Purwakania Hasan dalam bukunya Pengantar Psikologi Kesehatan Islami (2008) mengatakan, Selain melakukan usaha pengobatan medis (dokter dan obat-obatan), Islam mengajarkan oang yang sakit dengan memperbanyak dzikir, membaca Quran dan shalat. Dalam hal ini RS. Cipto Mangunkusumo pernah mempunyai pengalaman pengobatan menggunakan pendekatan secara Islam (dzikir, Quran, dan Shalat) pada Tahun 1966, 1967 sampai 1968.

E. Kesehatan Mental dalam Islam
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya benar-benar merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya terpuji
dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT.

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan tercurah padanya.
Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah SWT itu harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku.


KEPUSTAKAAN

Aliah B. Purwakania Hasan, Pengantar Psikologi Kesehatan Islami (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
A. F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental (Jakarta: Amzah, 2000)
Goldberg, D. The Recognition of Psychiatric Illness by Non-Psychiatrist. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry. 18. 1984
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
Kartini Kartono, dr. Jenny Andari, Hygine Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam (Bandung: CV. Mandar Maju, 1989)
Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental Konsep & Penerapan (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 1999)
Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, jilid 1, alih bahasa, Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)
Tristiadi Ardi Ardani. Psikiatri Islam (Malang: UIN Malang Press, 2008)
Zakiah Darajat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983)

Sabtu, 23 April 2011

KONSEP KEPERIBADIAN DALAM ISLAM

A. Struktur Kepribadian dalam Islam
Struktur kepribadian bisa didefinisikan sebagai aspek atau elemen-elemen yang terdapat dalam diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk. Elemen-elemen psikologis di sini bermakana konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar bagi pembentukan teori psikologi Islam. Asumsi dasar tersebut diformulasi dari pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep Al-Quran tentang manusia.
Formulasi struktur psikis manusia telah banyak dikemukakan oleh para pakar psikologi dengan pendekatan masing-masing. Mulai dari Sigmund Freud sampai sekarang banyak sekali teori-teori kepribadian yang telah dihasilkan dan dengan ciri serta karakteristik khasnya. Namun bagaimana dengan pendapat Al-Quran berkaitan dengan hal ini?
Al-Quran menggunakan istilah yang beragam dalam menjelaskan manusia. Berbagai istilah tersebut, jika disusun berdasarkan karakteristik yang dipahami dari uraian-uraian seputar pengguanaan istilah manusia dalam Al-Quran, kita mendapatkan istilah-istilah al-basyar, al-ins, al-insan, al-unas, an-nas, bani adam, al-nafs, al-aqal, al-qalbar-ruh, dan al-fitrah. Secara implisit Al-Quran menginformasikan bahwa manusia memiliki tiga aspek pembentuk totalitas yang secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek itu adalah jismiyah (fisik, biologis), nafsiyah (psikis, psikologis), dan ruhaniyah (spiritual, transendental).
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Khyr al-Din al-Zarkali, bahwa studi tentang diri manusia dapat dilihat melaui tiga sudut, yaitu jasad (fisik), jiwa (psikis), dan jasad dan jiwa (psikopsikis).
Para ahli umumnya membedakan manusia dari dua aspek saja, yaitu jasad dan ruh. Sedikit sekali yang membedakan antara jasad, ruh, dan nafs, padahal ketiganya memiliki kriteria-kriteria sendiri. Jasad dan ruh merupakan dimensi manusia yang berlawanan sifatnya. Jasad sifatnya kasar dan indrawi atau empiris serta kecendrungannya ingin mengejar kenikmatan duniawi dan material. Sedangkan ruh sifatnya halus dan gaib serta kecendrungannya mengejar kenikmatan samawi, ruhaniyah dan ukhrawiyah.
Esensi yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan subtansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara kedua ensensi ini, sehingga menjadi nafs. Dengan nafs maka masing-masing keinginan jasad dan ruh dalam diri manusia bisa terpenuhi.
Pada umumnya perbedaan pendapat teletak pada pemahaman antara ruh dan nafs. Paling tidak kita bisa mengklasifikasikan menjadi dua asumsi. Asumsi pertama menganggap bahwa ruh dan nafs adalah substansi yang sama. Kedua, asumsi yang menyatakan bahwa ruh dan nafs adalah subtansi yang berbeda. Menurut para sufi, ruh lebih spesifik dari daripada nafs, sebab ruh naturnya asli, sementara nafs memiliki kecendrungan pada duniawi dan kejelekan. Nafs menjadi perantara antara jiwa rasional dengan badan. Menurut Ibnu Abbas manusia memiliki ruh dan nafas. Dengan nafs manusia mampu berpikir dan mampu membedakan mana yang benar dan salah, sebab dalam nafs terdapat akal, sedangkan dengan ruh manusia dapat hidup karena ia merupakan nyawa. Berbeda dengan al-Gazali yang menganggap ruh sebagai nyawa yang selalu ada pada tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan nafs hanya ada pada diri manusia yang memiliki daya berpikir. Nafs bersifat seperti tanah dan bersifat kemanusiaan, sedangkan ruh bersifat seperticahaya dan bersifat ketuhanan.
Beberapa pendapat tersebut mendiskripsikan bahwa antara ruh dan nafs berbeda. Ruh adalah urusan Allah dan hakikatnya hanya Ia yang mengetahuinya. Sementara nafs adalah apa yang ada pada manusia yang merupakan sinergi antara jasad dan ruh. Sinergi psikofisik inilah yang akan melahirkan perilaku, baik perilaku lahir maupun batin.
1. Struktur Jisim
Jisim adalah aspek diri manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Setiap alam biotik lahiriah memiliki unsur material yang sama yaitu tanah, api, air, dan udara. Manusia dikatakan makhluk biotik yang sempurna karena unsur-unsur pembentukan materialnya bersifat proporsional antara keempat unsur tersebut.
Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik. Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik. Energi kehidupan ini lazim disebut sebagai nyawa, al-Hayah sebutan Ibnu Maskawih dan al-ruh jasmaniyah (ruh material) sebutan al-Gazali. Daya hidup ini merupakan vitalitas fisik manusia. Vitalitas ini tergantung sekali pada konstitusi fisik, seperti susunan sel, urat, darah, daging, tulang, sum-sum, kulit, rambut dan sebagainya. Dengan daya ini manusia bisa bernapas, merasakan sakit, panas-dingin, manis-pahit, haus-lapar, seks dan sebagainya. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa jismiah memiliki dua natur, natur konkret berupa tubuh kasar yang tampak, dan natur abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sumber kehidupan tubuh. Aspek abstrak inilah yang berjasa sehingga jasad mampu berinteraksi dengan ruh.
Daya hidup pada manusia memiliki batas, batas itu disebut sebagai ajal. Apabila batas energi tersebut telah habis, tanpa sebab apapun manusia akan mengalami kematian. Daya hidup ini terletak pada semua organ manusia yang sentralnya terletak pada jantung. Apabila organ vital ini rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka daya hidup itu akan lepas dari tubuh manusia dan terjadilah dengan apa yang disebut kematian, walaupun daya hidup itu belum habis waktunya.
Selain itu aspek jismiah ini megikuti sunnatullah. Pada ranah ini, manusia merupakan bagian integral dari alam material, berasal darinya dan akan kembali kepadanya. Pada wilayah fisik biologis ini, berlaku hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku pada benda-benda fisik-material lainnya. Jadi pada sisi ini, manusia sama dengan benda-benda material hidup lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari keseluruhan sistem totalitas fisik-psikis, maka aspek jismiah memainkan peranan penting sebagai sarana untuk mengaktualisasikan fungsi aspek nafsiah dan aspek ruhaniah dengan berbagi dimensinya. Dalam Al-Quran dijelaskan beberapa fungsi aspek jismiah yang membantu cara kerja aspek psikis lainnya. Kulit sebagai alat peraba (QS. Al-An’am:7), hidung sebagi alat pencium (QS. Yusuf: 94).
Proses penciptaan jasmani dalam Al-Quran terbagi atas beberapa tahapan. Maurice Bucaille menyatakan bahwa proses penciptaan fisik manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu dari tanah bagi manusia pertama (Adam) dan dari asal dekat yaitu dari perpaduan sperma-ovum bagi anak cucunya.
Sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa aspek jismiah memiliki beberapa karakteristik, seperti memilki bentuk, rupa, kuantitas, berkadar, bergerak, diam, tumbuh, berkembang, serta jasad yang terdiri dari berbagai organ, dan bersifat material yang sebenarnya substansinya mati. Kehidupannya adalah karena dimotori oleh substansi lain, yaitu nafs dan ruh. Dengan kata lain aspek jismiah ini bersifat deterministik-mekanistik.
2. Struktur Ruh
Struktur ruh memberikan ciri khas dan keunikan tersendiri bagi psikolgi Islam. Ruh merupakan substansi psikologis manusia yang menjadi esensi keberadaannya. Hal ini berbeda dengan psikologi kepribadian Barat yang hanya memahami ruh sebagai spirit yang accident. Sebagai substansi yang esensial, ruh membutuhkan jasad untuk aktualisasi diri. Ruhlah yang membedakan antara eksisitensi manusia dengan makhluk lainnya.
Ruh adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual dan transendental. Dikatakan bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Potensi luhur tersebut merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh atau spiritual adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirnya. Inilah yang disebut sebagai potensi luhur batin manusia. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi psikis manusia dan memerlukan aktualisasi. Aktualisasi potensi luhur batin tersebut menjadi wilayah empiris-historis keberadaannya sebagai aspek psikis manusia. Jadi proses aktualisasi potensi luhur batin manusia itu merupakan sisi empirik dari transendensi sifat-sifat Allah dalam diri manusia.
Pewujudan dari sifat-sifat dan daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam dirinya untuk menjadi Khalifah Alllah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Dengan kata lain, dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewjud secara aktual sebagai khalifah Allah.
Selain itu ruh juga bersifat transendental karena merupakan dimensi psikis manusia yang mengatur hubungan manusia dengan yang Maha Transenden. Fungsi ini muncul dari dimensi al-fitrah. Sama halnya dengan dimensi al-ruh dimensi al-fitrah juga bersumber dari Allah. Perbedaannya terletak pada dimensi al-ruh dipandang dari sudut kapasitas hubungannya dengan alam atau hablun minannas, sementara al-fitrah dipandang dari sudut kapasitas hubungannya dengan Allah atau hablun minallah. Kalau al-ruh bermuara pada khalifah, maka al-fitrah bermuara pada Abdullah. Di sinilah dapat dimengerti bagaimana hubungan keduanya sebagai tugas ganda manusia di dunia.
Sampai saat ini belum ada yang memahami hakikat ruh secara pasti, karena ruh merupakan sebuah misteri ilahi yang terus digali esensinya. Para ilmuan muslim belum menemukan kesepakatan dalam menentukan definisi ruh. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ruh merupakan urusan dan atau hanya dipahami oleh Allah. Manusia sama sekali tidak memahaminya kecuali sedikit (QS. Al-Isra: 85). Namun setidaknya, pendapat para ahli tentang hakikat ruh dapat diklasifikasikan menjadi tiga.
Pendapat yang pertama adalah materialisme, ruh merupakan jisim atau materi, sekalipun berbeda dengan jisim jasmani. Ruh ada pada tubuh manusia dan menjadikan kehidupan, gerak, merasa, dan berkehendak. Ruh adalah persenyawaan yang harmonis antar keempat unsur. Pembedaan karakter manusia ditentukan oleh perbedaan komposisi keempat unsur tersebut. Ruh adalah jawhar basith, yakni substansi sederhana dan kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan nyawa (al-hayah).
Pendapat yang kedua adalah spiritualisme, ruh merupakan substansi yang bersifat ruhani dan tak satupun cirinya bersifat jasmani. Para spiritualis berpendapat bahwa ruh adalah jawhar ruhani. Ruh tidak terusun dari materi, sebab dia abstrak dan dapat menangkap beberapa bentuk sekaligus. Proses penciptaannya sekaligus tidak seperti proses penciptaan biologis. Ia bukan merupakan gabungan dari beberapa unsur, meskipun memiliki beberapa daya. Ruh merupakan unsur kelima selain keempat unsur. Oleh karena itu, ruh bukanlah bersifat material. Ruh adalah al-qudrah al-ilahiyah (daya ketuhanan), yang tercipata dari alam perintah (al-amr) sehingga sifatnya bukan jasadi. Sedangkan yang terakhir adalah gabungan antara materialisme dan spiritualisme, ruh merupakan ,kesatuan jiwa dan badan.
Dari pendapat diatas, dapat dipahami bahwa ruh memiliki tiga kemungkinan. Pertama ruh merupakan nyawa. Ia bukan jisim tetapi yang menghidupkan jisim. Ruh merupakan aksiden, yaitu sesuatu yang baru dan singgah pada subatansi jisim. Ia ada jika jisim ada dan menghilang apabila jasadnya rusak atau mati. Kedua ruh sebagi substansi halus yang menyatu dengan badan manusia di dalam khalq (penciptaan). Ruh terkait dengan hukum jasmani sebagaimana ruh terkait oleh hukum ruhani. Ruh inilah yang disebut sebagai nafs. Ketiga ruh sebagai substansi ruhani yang berasal dari alam amar dan sedukitpun tidak terkait dengan alam khalq yang terdiri dari alam jasmaniah. Ruh ini merupakan esensi manusia yang bersaksi dan diberi amanah di dalam perjanjian.
Ruh adalah substansi yang memilki natur sendiri. Menurut beberapa ajli ruh memilki natur:
a. Kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi dan memilki kehidupan dengan daya
b. Berasal dari alam perintah yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia berasal dari Allah, kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya.
c. Ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat mengetahui, dan sebagainya. Ia juga sebagi penggerak bagi keberadaan jasad manusia serta sifatnya gaib.
d. Ruh sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awal ini karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh menunjukkan jasad yang terdiri dari organ-organ.
Kesendirian ruh memiliki natur multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Hal itu dapat dicontohkan ketika manusia sedang tidur. Karena tidak dibatasi ruang dan waktu, ruh pun mampu menembus lorong waktu baik pada masa lampau maupun masa depan. Waktu berjalan seiring dengan ruang, dan manusia dengan segala potensinya menjadi pengisi watu dan ruang itu. Jika waktu dan tempat pada masa lampau menghilang berarti tidak ada pertanggung jawaban, jika waktu dan tempat belum ada untuk masa depan berarti tiada keimanan pada hari akhir.
Kematian jasad bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut hadis Nabi, bahwa kesiapan itu ketika berusia empat bulan dalam kandungan (HR al-Bukhari dan Ahmad Ibn Hambal) pada saat inilah ruh berubah sifat menjadi al-nafs.
Ruh mersakan kenikmatan yang luar biasa ketika ia terlepas dari jasad. Kematian jasad merupakan awal bagi kebahgiaan ruh yang hakiki. Kondisi ini berlaku jika ruh yang dimaksud merupakan ruh yang suci dan kesuciannya diterima. Apabila ruh tersebut merupakan yang kotor, maka ia mendapat siksaan. Ruh yang baik bertempat pada alamnya (alam ruhani), sedang ruh yang kotor bertempat di alam jasadi.
Apabila kita pandang dari term ini, secara teoritis ruh dibagi menjadi dua, yaitu ruh yang masih murni berhubungan dengan zatnya sendiri (al-munazzalah) dan ruh ruh yang berhubungan dengan jasmani (nafsiyah). Disebut munazzalah karena keadaan potensi ini begitu saja diberikan tanpa adanya daya upaya atau pilihan. Potensi ini diciptakan di alam immateri (‘alam al-arwah) atau di alam perjanjian (‘alam mistaq atau ‘alam al-‘ahd). Keberadaannya telah ada sebelum tubuh manuisa tercipta, sehingga sifat potensi ini sangat gaib yang adanya hanya diketahui melaui informasi wahyu. Ruh ini dikatakan sebagai potensi fitrah atau alamiah yang menjadi esensi manuisa. Fungsinya berguna memberikan motivasi tingkah lakunya. Ruh ini membimbing dinamika kehidupan ruh nafsani (al-gharizah) manusia. Ruh al-gharizah yang dimotivasi oleh munazzalah akan menerima pancaran nur ilahi yang suci yang menerangi ruangan kalbu manusia, meluruskan akal budi dan mengendalikan impuls-impuls rendah.
Perwujudan dari munazzalah ini adalah amanah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Dalam Al-Quran (al-Azhab: 72) dinyatakan bahwa amanah adalah penerimaan pancaran ilahi yang dilakukan tanpa perantara. Amanah memasuki wilayah ketuhanan yang memilki sifat sempuran untuk beribadah dengan berbekal ilmu dan amal.
3. Struktur Nafs
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiah dan ruhaniah. Telah dikatakan sebelumnya bahwa kedua aspek ini saling membutuhkan, di mana antara keduanya saling berlawanan satu sama lainnya. Di sinilah letak aspek nafsiah berada, yang berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda itu. Dengan kata lain nafs memiliki natur gabungan antara jasad dan ruh. Apabila ia berorientasi pada natur jasad maka tingkah lakunya menjadi buruk dan celaka, tetapi apabila mengacu pada natur ruh maka kehidupannya menjadi baik dan selamat. Dengan redaksi yang berbeda, nafs juga dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk. M. Quraish shihab menjelaskan, pada hakikatnya potensi positif lebih kuat daripada potensi negatif. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada kebaikan kepada nafs. Untuk itulah manusia senantiasa dituntut untuk memelihara kesucian nafsnya.
Nafs adalah potensi jasadi-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak jasad manusia siap menerimanya. Potensi ini secara otomatis mengikuti hukum jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada daya ini bersifat potensial, tetapi ia dapat mengaktual jika manusia mengupayakannya. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualitas nafs ini merupakan citra kepribadian manusia, yang aktualisasi itu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan, lingkungan, dan sebagainya.
Nafs merupakan alam yang tak terukur besarnya karena ia merupakan miniatur alam semsta atau mikrokosmos. Segala apa yang ada di alam semesta tercermin di dalamnya. Demikian juga apa saja yang terdapat dalam daya ini terdapat juga pada alam semesta. Jargon yang sering kita dengar “manusia adalah mikrokosmos, sedang kosmos adalah manusia makro” mengacu pada pemahaman ini.
Nafs memiliki potensi gharizah (insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan, sifat bawaan). Namun secara terminologi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama orientasinya pada semua spesies biotik. Menurut Chaplin, insting adalah suatu reaksi yang kompleks dan tidak dipelajari yang menjadi sifat khas suatu spesies. Akar tumbuhan yang mencari air, anak menangis jika lapar, lebah membuat sarangnya, adalah contoh-contohnya.
Kedua, orientasinya pada manusia tetapi mangarah pada gejala somatik. Freud, insting merupakan bagian dari id dan perwujudan dari suatu sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir. Perwujudan somatisnya disebut sebagi hasrat, sedangkan darimana hasrat itu muncul disebut kebutuhan.
Ketiga orientasinya pada manusia tetapi mangarah pada kejiwaan. Mac Dougall, insting adalah keadaan pembawaan yang menjadi pendorong atau sebab timbulnya perbuatan. Ghazirah mengacu pada insting yang ketiga dimana ghazirah merupakan potensi laten yang ada pada psikofisik manusia yang dibawa sejak lahir dan menjadi pendorong serta penentu tingkah laku manusia.
Nafs sebagai elemen dasar psikis manusia mengandung arti sebagai satu dimensi yang memiliki fungsi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia. Secara esensial nafs juga mewadahi potensi-potensi dari masing-masing dimensi psiksis, berupa potensi takwa (baik, positif), maupun potensi jujur (buruk, negatif).
Aspek nafsiah memiliki tiga dimensi utama, yaitu al-nafs, al-‘aql, dan al-qalb. Ketiga dimensi inilah yang menjadi sarana bagi aspek nafsiah untuk mewujudkan peran dan fungsinya.
a. Dimensi al-nafs (hawa nafsu)
Dimensi ini adalah dimensi yang meilki sifat kebinatangan dalam system psikis manusia. Namun demikian ia dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah bersinergi dengan dimensi lainnya.
Nafsu sebagi daya nafsani memilki banyak pengertian. Pertama, nafsu merupakan nyawa manusia, yang wujudnya berupa angin yang keluar masuk di dalam tubuh manusia. Kedua, nafsu merupakan sinergi jasmani-ruhani manusia dan merupakan totalitas struktur kepribadian manusia. Ketiga, nafsu merupakan bagian dari daya nafsani yang memilki dua daya, ghadabiyah dan syahwaniyah. Ghadab merupakan daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari yang membahyakan. Ghadab memilki potensi hawa nafsu dengan natur seperti binatang buas, menyerang, membunuh merusak, menyakiti, dan membuat yang lain menderita. Ketika potensi ini dikelola dengan baik, maka ia menjadi kekuatan atau kemampuan (qudrah). Syahwat adalah daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan. Berbeda dengan ghadab, syahwat memilki natur binatang jinak, naluri dasar seks, erotisme, dan segala tindakan pemuasan birahi.
Prinsip kerja hawa nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls agresif dan seksualnya. Apabila impuls ini tidak terpenuhi maka terjadilah ketegangan. Apabila manusia mengumbar dominasi hawa nafsu maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi secara baik. Manusia model ini sama dengan binatang bahkan lebih (QS al-A’raf: 179).
Hawa nafsu berorientasi pada jasad, yang kekuatan utamanya adalah indra. Daya indrawi hawa nafsu, seperti Ibnu Sina, ada dua macam indara lahir (external senses) yang berupa panca indra dan indra batin (internal senses). Indra batin terdiri dari:
1) indra bersama, yang berfungsi menerima, mengatur, dan mengoordinasi bentuk dari semua benda yang diserap panca indra.
2) Imagenasi retentif, yang berfungsi sebagai representasi, yaitu melestarikan informasi iag diterima indra bersama yang disalurkan kepada daya yang lain sehingga membentuk gambar suatu benda dalam pikiran.
3) Imagenasi kompositif, yang berfungsi memisahkan dan menggabungkan kembali gambar yang telah diterima imagenasi retentif.
4) Estimasi, yang menangkap makna dan tujuan yag ada pad benda indrawi. Pada manusia daya ini dapat digunakan untuk menilai mana yang dipercaya mana yang fantasi.
5) Memori dan Rekoleksi, yang berfungsi sebagai gudang penyimapanan untuk melestarikan makna utau tujuan daya-daya sebelumnya.
b. Dimensi Al-‘Aql
Dimensi akal adalah dimensi psikis yang berada antara nafsu dan qalb. Akal menjadi perantara dan penghubung antar kedua dimensi tersebut berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniyah pada psikis manusia. Akal merupakan bagian dari daya insani yang memilki dua makna. Akal jasmani, yang lazim disebut sebagai otak dan akal ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan.
Akal mampu mengantarkan manusia pada esensi kaemanusiaan. Akal merupakan kesehatan fitrah yang memilki daya pembeda antara yang baik dan buruk. Term ini dapat dipahami bahwa akal adalah daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan hakikatnya.
c. Dimensi Al-Qalb
Kalbu merupakan salah satu daya nafsani. Al-Ghazali secara tegas melihat kalbu dari dua aspek yaitu kalbu jasmani adalah komponen fisik dan kalbu ruhani adalah komponen psikis yang menjadi pusat kepribadian. Kalbu ruhani memilki karakteristik yaitu, insting yang disebut nur ilahi dan mata batin yang memancarkan keimanan dan keyakinan.
Kalbu berfungsi sebagai pemandu, pengontol, dan pengendali semua tingkah laku manusia. Kalbu mamilki natur ilahiyah yang merupakan aspek supra kesdaran. Dengan natur ini manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosial, juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Aspek ini juga mencakup daya insani misalnya daya indrawi (penglihatan dan pendengaran), daya psikologis seperti kognisi, emosi (intuisi yang kuat dan afektif), konasi (beraksi, berbuat, berusaha).

B. Dinamika Kepribadian Dalam Psikologi Islam
Sebelumnya telah dikatakan bahwa struktur jasmani atau jasad bukan dipersiapkan untuk membentuk tingkah laku tersendiri, melainkan sebagai wadah atau tempat singgah struktur ruh. Struktur jasmanai sendiri tidak akan mampu membentuk suatu tingkah laku lahiriah apalagi tingakah laku batiniah. Struktur jasmani memilki daya dan energi yang membangkitkan proses fisiknya. Energi ini lazim disebut sebagai daya hidup (al-hayah). Daya ini kendatipun sifatnya abstrak, tetapi ia belum mampu menggerakkkan suatu tingkah laku. Suatu tingkah laku dapat terwujud apabila struktur jasmani telah ditempati struktur ruh.
Manusia dalam kansepsi kepribadian Islam merupakan makhluk mulia yang memiliki struktur kompleks. Banyak di antara psikolog kepribadian barat, khususnya aliran behavioristik, kurang memperhatikan substansi jiwa manusia. Manusia hanya dipandang dari sudut jasmaniah saja yang mengakibatkan penelitian yang dilakukan seputar masalah lahiriah. Mereka banyak melakukan eksperimen terhadap tingkah laku binatang dan hasilnya digunakan untuk memotret tingkah laku manusia. Teori tingkah laku binatang disamakan dengan teori tingkah laku manusia. padahal struktur kepribadian manusia selain struktur jasmaniah juga terdapat struktur ruh yang mana keduanya merupakan subsatansi yang menyatu dalam struktur nafsani. Oleh karena itu, pemahaman kepribadian manusia tidak hanya tertumpu pada struktur jasmani melainkan harus juga meliputi struktur ruh.
Lebih jauh konsep yang berkembang dari psikologi pada umumnya menafikan hal yang berbau metafisik, transendental, dan spiritualitas. Ruh dikatakan sebagai tempat bersemayamnya spiritualitas (fitrah) yang mengarah pada sesuatu yang transenden untuk merepresentasikan sifat-sifat Tuhan dengan potensi luhur batin melalui proses aktualisasi yang dimotori oleh amanah atau pancaran Ilahi. Inilah yang menjadi motivasi tingkah laku manusia.
Manusia adalah mandataris Allah di dunia yang dituntut untuk berkepribadian baik sesuai dengan amanah yang dititipkan padanya. Ruh membutuhkan agama dan eksistensinya sangat tergantung pada kualitas keberagamaannya. Keberadaan agama dalam kepribadian Islam memiliki peran penting yang terdiri dari imaniyah-ilahiyah (berupa rukun iman), ubudiyah-ilahiyah (rukun islam), mu’amalah-ilahiyah (aktivitas keseharian yang dilandasi nilai keimanan), dan mu’amalah insaniyah (aktifitas keseharian yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan).
Pertama dan kedua merupakan kepribadian ilahiyah, sedangkan ketiga dan keempat merupakan kepribadian insaniyah. Dari pertama sampai ketiga seluruh perilaku manusia dinilai sebagai ibadah yang merupakan aktualisasi dari ajaran agama. Inilah yang disebut sebagai kepribadian Islam.
Perpaduan struktur jasmani dan ruhani selanjutnya diwadahi oleh struktur nafsani yang di dalamnya terdapat potensi baik dan buruk. Sebagaimana dikatakan di atas, struktur ini memilki tiga komponen, nafsu, akal dan kalbu. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi satu sama lain dalam pembentukan kepribadian.interaksi ketiga system nafsani ini berjalan menurut dua alternativf. Pertama, menurut Ibnu Miskawaih interaksi daya jiwa berjalan menurut hokum harmonisasi antara berbagai system yang berpusat pada fakultas berpikir. Keutamaan berpikir adalah kerarifan, keutamaan ghadab adalah berani dan keutamaan syahwat adalah iffah. Dengan begitu ghadab dan syahwat bukanlah potensi yang buruk. Baik buruknya sangat tergantung pada interaksi yang harmonis dengan fakultas berpikir. Kedua, menurut Ghazali dan Ibnu Arabi interaksi daya-daya nafsani berjalan menurut hokum dominasi. Masing-masing daya ini, jalbu naturnya baik, nafsu naturnya buruk, dan akal naturnya baik dan buruk. Kesemua daya iniberpusat pada kalbu.
Begitu unik cara kerja sistem-sistem ini, sehingga salah satu komponennya berkemungkinan untuk mendominasi komponen lainnya. Cara kerja yang demikian itu terjadi apabila kepribadian telah berbentuk aktual bukan potensial. Artinya, perebutan sistem nafsani karena mengikuti kemauan dan keinginan Aku-nya seseorang.

Sumber : http://www.blogster.com

Kamis, 24 Februari 2011

PSIKOLOGI ISLAM (NAFSIOLOGI) DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan.
Setelah tumbangnya ideologi komunis (blok timur) sebagai lawan dari kapitalis (blok barat), Islam muncul atau dimunculkan sebagai tandingan ideologi barat, hal ini disatu sisi meresahkan umat Islam, sebab Islam dipaksa menanggung resiko yang tidak ringan. Islam diberbagai belahan dunia disudutkan dengan bermacam cap, bahkan lebih celaka lagi umat Islam sendiri mengalami Islamophobia merasakan menampakkan simbol-simbol keIslamannya.
Dilain pihak umat Islam merasa tertantang dan bangga dengan adanya stigma tersebut, bahkan umat Islam ada yang terjangkit penyakit uforia sebagian Islam ada yang ingin menginginkan Islamisasi di segala bidang, bahkan dalam bidang-bidang ilpeng yang di anggap sebagai produk sekuler, tidak terkecuali ilmu psikologi. Semangat Islamisasi ilmu itu tergambar jelas dalam pernyataan Prof. Muhammad Qutub, seorang pemikir ternama mesir. Ia mengatakan bahwa kita umat Islam tidak memerlukan psikoligi modern, sebab ilmu itu dengan cabang-cabangnya merupakan kumpulan teori dan praktek dari peradapan asing dan kafir (ahmad mubarok, 2000;264). Usulan itu oleh DR. Malik badri di anggap sebagai tindakan yang berlebihan, sebab hal itu seperti menyuruh membuang barang berharga bersamaan dengan barang yang berguna, membuang berlian dengan sampah, atau marah kepada nyamuk,kemudian membakar kelambu. (Hasan langgulung, 1986;306).
Padahal kita tau bahwa psikologi sebagai disiplin ilmu baru muncul pada akhir abad ke-18 M. namun akar-akarnya menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitif umat manusia sejak saman dahulu kala. Bahkan Islampun memberikan kepada psikologi, antara lain melalui ide-ide Ibnu sina tentang ilmu pengobatan jiwa, ide ibnu siirin tentang tefsir mimpi, al Ghosali dan al Muhasibi tentang kajian kepribadian yang banyak di serap psikologi modern (barat) sehingga jika membuang ilmu psikologi modern, terbuang juga warisan Islam di dalamnya, (Hasan Langgulung, ibid). Pada tahun lima puluhan di amerika muncul gerakan psikologi Islam. Gerakan ini menurut langgulung, pada umumnya hanyalah satu bagian dari suatu gerakan yang menyeluruh yang berusaha menentang dan menunjukan alternatif lain terhadap konsepsi manusia. Namun di akui bahwa psikologi Islam masih mengandung banyak problem yang harus di carikan solusinya, di antaranya problem nama, konsep, sistem dll. Dari segi istilah nama beberapa ahli ada yang menamai psikologi Islam oleh jamaluddin ancok, psikolgi fitrah oleh fuad nasori psikologi tasawuf oleh komaruddin hidayah, nafsiologi oleh sukanto mulyomartono.

B. Pengertian Psikologi Islam.
Psikologi secara etimologi mengandung arti ilmu tentang jiwa. Dalam Islam kata jiwa di samakan dengan “an-Nafsu” namun ada juga yang menyamakan dengan istilah “ar-Ruh” seperti psikolog Zuardin Azzainu, tetapi istilah ini lebih populer dari istilah ar-Ruh, karena “Psikologi” dalam bahasa Arab lebih populer diterjemahkan dengan ilmu ”an-Nafsu” daripada ilmu ar-Ruh bahkan Sukanto Mulyo Martono lebih khusus menyebutnya dengan istilah Nafsiologi. Penggunaan isilah tersebut di sebabkan karna obyek kajian psikologi adalah an-Nafsu sebagai aspek psikofisik dari manusia. Perlu dipahami bahwa istilah an-Nafsu berbeda dengan term soul dan psyche dalam psikolgi kontemporer barat. an-Nafsu adalah gabungan antara substansi jasmani dan rohani, sedangkan soul dan psychi hanya berkaitan dengan aspek psikis manusia (Abdul Mujib dan Yusuf Muzakkir: 2001;4).
Sebagai sebuah diskursus yang relatif masih baru psikologi Islam sering ditanggapi dengan berbagi persepsi dan interpretasi yang bermacam-macam.
Berikut adalah definisi psikologi Islam menurut para psikolog muslim: “psikologi Islam adalah ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (Al-Qur’an dan Al-hadits) dan akal, indra dan intuisi (Jamaluddin Ancok, 1994;144).
Psikologi Islam adalah konsep psikologi modern yang telah mengalami proses filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan Islam (Jamaluddin, Ibid;146). Psikologi Islam dalah perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Islam (Ibid).
Psikologi Islam ialah corak psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan dan pola prilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman intraksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar dan alam kerohanian, dengan tjuan menngkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan (Hanna Djumhanna Bastaman, 1996;45).
Psikologi Islam sebenarnya merupakan pandangan Islam tentang “manusia” yang tidak harus dikait-kaitkan dengan pandangan psiklogi barat. Dasar pendidikan psikologi barat adalah spekulatif philoshopis tentang manusia, sedangkan psikologi Islam didasarkan atas sumber otentik yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Jamaluddin Ancok dan Fuad Nasori: 1995;139). Sebagai kesimpulannya dapat dirumuskan bahwa psikologi Islam adalah kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan prilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kwalitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkn kebahagiaan hidup didunia dan di akherat.

C. Ruang Lingkup Psikologi Islam.
Jika ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi; fisik-biologis, kejiwaan dan sosio kultural, maka ruang lingkup psikiologi Islam disamping tiga hal tersebut juga mencakup dimensi kerohanian, dimensi spiritual, suatu wilayah yang tak pernah disentuh oleh psikologi barat karena perbedaan pijakan. Psikologi Islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan, keadaan badan manusia sebagai cerminan jiwanya, jadi ekspresi badan adalah salah satu fenomena kaejiawaan. Dalam merumuskan siapa manusia, psikologi Islam tidak hanya melihat dari aspek prilaku badannya saja. Psikologi Islam bermaksuk menjelaskan manusia dengan memulai dari apa kata Tuhan tentang manusia, sebab dalam diri manusia terdapat kompleksitas yang hanya Tuhanlah yang mampu memahaminya.
Kajian tentang manusia meliputi komponen-komponen yang oleh para ilmuwan Islam berbeda pendapat tentang apa saja, kedudukan dan fungsi dari komponen-komponen tersebut. Abdul Razak Al-Kasyani, misalnya mejelaskan bahwa komponen- komponen yang ada dalam diri manusia meliputi ruh, jiwa, hati, dan akal. Menurut Al-Kasyani pada awalnya adalah substansi ruh dan substansi jasad. Setelah keduanya sulit berkomunikasi diciptakanlah jiwa yang merupakan perantara tubuh/jasad dengan ruh. Bisa dikatakan bahwa jiwa terletak antara tubuh dan ruh. Selanjutnya, letak dari hati adalah antara jiwa dan ruh. Selain Al-Kasyani, banyak ahli yang memiliki pandangan tentangan struktur komponen jiwa manusia. Amir bin Usman Al-Makky, sebagaimana diungkapkan oleh Shigeru Kamada, membagi komponen manusia terdiri dari empat tataran, yaitu: raga (tan), qalbu (dil), ruh (jan), dan rahasia (sir). Imam Al-Gazali menghadirkan istilah-istilah ruh, akal, hati, nafsu syahwat, dan-Nafsu ghadhab. Hati adalah raja, akal adalah perdana menteri, nafsu syahwat adalah tax collector pengumpul pajak, sedangkan-Nafsu ghadhab adalah diumpamakan sebagai polisi. Ruh adalah bagian akal yang paling tinggi. Senada dengan Al-Gazali adalah Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir membagi komponen rohani atas qalbu, akal, dan-Nafsu. (Fuad Nasari, Potensi-Potensi Manusia; 111-112). Sedikit berbeda dengan pandangan Al-Gazali, Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ahmad Mubarak menegaskan bahwa subsistem jiwa terdiri atas: qalbu, ruh, akal dan basyrah. Qalbu adalah alat untuk memahami realita dan nilai-nilai. Qalbu memiliki karakter tidak konsisten. Akal merupakan alat potensi untuk menerima ilmu pengetahuan. Ruh merupakan substansi dalam jiwa manusia yang memliki sifat-sifat positif secara alamiah. Terakhir adalah basyirah, yaitu ketajaman hati atau kecerdasan dan kemantapan dalam agama, dan keyakinan dalam hal agama dan realitas. (A. Mubarak, Jiwa Dalam Al-Qur’a; 109-112).
Menyikapi berbagai uraian di atas, bahwa ruang lingkup psikologi Islam pada awalnya adalah manusia yang memiliki dua substansi asal, yatu ruh dan tubuh (jasad, jism). Ketika keduanya bertemu, maka lahirlah substansi ketiga yaitu jiwa. Jiwa ini bukanlah alat, tetapi ia merupakan sub sistem di mana komponen-komponen yang ada di dalam dirinya berada dalam wadaq jiwa itu. Wadaq jiwa tersebut terdiri atas qalbu, akal, dan-Nafsu. Bagaimana kualitas jiwa sangat bergantung kepada tingkat berfungsinya alat-alat yang bekerja dalam wadaq jiwa tersebut.

D. Latar Belakang (Manfaat dan Tujuan).
Paling tidak terdapat dua latar belakang bagi perlunya kehadiran psikologi Islam yang telah banyak disebutkan oleh para ahli psikologi, yang pertama, Islam mempunyai sudut pandang yang fundamental terhadap diri manusia dan segala keadaannya, berbeda dengan sudut pandang psikologi konvensional (barat) baik dari aspek filosofi, metodologi, dan pendekatannya. Al-qur’an sebagai sumber pertama Islam mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang manusia, melalui Al-Qur’an Allah memberitahukan banyak tentang rahasia-rahasia manusia. Untuk mengetahui tentang hakikat manusia secara filosofis Al-Qur’an menjadi acuan utama bagi pengembangan ilmu psikologi. Psikologi barat yang berkembang saat ini mempunyai kelemahan- kelemahan yang bersifat fundamentalis, baik secara filosofis maupun secara praktis. Psiko analisis Sigmund Freud ,menganggap sinting (delusi) orang yang percaya Tuhan dan aliran behavioristik tidak peduli akan adanya Tuhan. Hal ini akan mendorong akan pentingnya adanya psikologi yang berwawasan theosentris (berketuhanan) yaitu psikologi Islam. Alasan kedua adalah adanya kesadaran bahwa psikologi modern menghadapi beragam krisis. Ahli-ahli psikologi modern baik dari kalangan muslim maupun non muslim telah melontarkan sejumlah kritik terhadap psikologi modern. Malik B. Badri seorang ilmuwan muslim dari Sudan telah melakukan koreksi teoritis dan praktis terhadap psikologi modern. Bahkan Gordon Westland (1978) seorang ilmuwan psikologi barat memandang bahwa krisis psikologi modern telah berkembang sedemikian jauh hingga dapat dikategorikan menjadi berbagai macam krisis. Diantaranya adalah krisis kegunaan (The usefullness crisis), krisis laboratorium (Laboratory crisis), krisis filsafat (The philosophical crisis), krisis profesi (The professional crisis), krisis etika (The ethical crisis), dan krisis resolusi (The resolution crisis). (Jamaluddin Ancok dan Fuad Nasori: 1995; 139).
Tugas psikologi Islam berbeda debgan psikologi barat, psikologi barat hanya menerangkan (explanation) memprediksi (prediction) dan mengontrol (countroling) terhadap prilaku manusia. Sedang psikologi Islam menerangkan, memprediksi, mengontrol dan mengarahkan untuk memperolrh ridho Allah. Jadi misi utama psikologi Islam adalah menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk memenuhi kecenderungan alaminya dan fitrahnya untuk kembali kepada Allah SWT. Psikologi Islam dibangun dengan menggunakan Al-Qur’an sebagain acuan utamanya dan Al-qur’an diturunkan bukan semata-mata untuk umat Islam melainkan untuk kebaikan manusia (Q.S. 14: 1) karena itu psikologi Islam dibangun dengan arah untuk kesejahteraan manusia. Tujuan utama pengembangan psikologi Islam adalah untuk memecahkan problem dan mengembangkan potensi individual dan komunal manusia melalui cara yang tepat dalam memahami hidup mereka.

E. Penerapan Psikologi Islam (nafsiologi) Dalam Pendidikan.
Psikologi Islam sebagai salah satu disiplin ilmu yang dibangun dan dikembangkan atas prinsip-prinsip al-Qur’an dan as-Sunah, di samping mengemban misi untuk menerangkan, memprediksi, mengontrol dan mengantarkan manusia dalam memenuhi kecenderungan untuk kembali kehadiratnya, juga untuk mengarahkan mencapai rido-Nya. Sumber psikologi Islam tidak hanya al-Qur’an dan Sunah tetapi juga pemikiran para ulama, oleh karena itu kami akan mencoba mengungkapkan salah satu sumber psikologi Islam yaitu “tasawuf” yang oleh barat di sebut istilah “sufisme”. Sufisme adalah dimensi batiniah (esoterik), dalam agama Islam sebagai sisi lain dari demensi lahiriah (eksoterik), dan banyak pihak yang berkeyakinan bahwa tasawuf merupakan inti dari ajaran Islam. Sufisme Islam dapat di jadikan sebagai pertimbangan dalam mengembangkan psikologi Islam, seperti ar-ruh, an-nafsu, al-aqlu, al-qolbu, kondisi psycho mistis, penyakit hati dan berbagai macam metode untuk meningkatkan derajat kemanusian menuju insan kamil (Fuad Nashari, 1994; 105).

F. Kesimpulan.
1. Menurut kami psikologi Islam adalah psikologi konvensional barat yang telah di jiwai dan dijastifikasi oleh Islam. Alasannya adalah psiko manusia sebagai obyek kajiannya telah mendapatkan kajian dan penelitian ilmiah oleh barat secara riil, rasional, dan terbukti bermamfaat dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat. Dan ini merupakan dari bagian sunatullah atau hukum alam yang telah di letakkan oleh Allah di bumi, yang telah di kaji oleh ilmuan barat mendahului umat Islam. Padahal Allah telah menganjurkan untuk menkaji hukum alam ini, yang di antaranya psiko manusia. Tema-tema seperti pikiran, ingatan, imajinasi, ilusi, potensi, halusinasi, dan lain sebagainya banyak mendapatkan perhatian dalam kajiamn barat. Dalam Islam tema-tema tersebut kurang mendapatkan kajian mendalam yang berangkat dari nash-nash al-qur’an dan hadis yang di padikan dengan kajian impiris dan eksperimen.
2. Tema-tema seperti ruh, qalbu, nafsu dan aqlu adalah tema yang mendapakan kajian dalam Islam, kajian yang berangkat dari nas-nas al-Qur’an dan Hadis tetapi kurang dalam kajian empiris dan eksperimen, seperti kajian imam ibn al-Qoyyim al-jauzi dalam kitabnya “ar-Ruh”, imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin juz 3 dan Syaikh Said Hawwa dalam kitabnya “Tarbiat ar-Ruiyah”. Mereka telah melakukan kajian yang mendalam pada empat tema ini. Dan tema-tema ini juga banyak mendapatkan kajian dalam referensi kaum sufi.
3. Kajian mutakhir dari psikolog muslim tentang psikologi yang betul-betul berangkat dari nas al-Qur’an dan al-Hadist yang dipadukan dengan kajian empris dan eksperimen masih belum banyak ditemukan, karena itu bisa dikatakan bahwa psikologi Islam masih dalam proses perkembangan.
4. Kajian yang dilakukan sebagian ahli psikologi Islam berkaitan dengan potensi ar-Ruh, an-Nafs, al-Qalb, al-Aql bisa memberikan jalan awal bagi perkembangan kajian ini, dan juga bagi dunia pendidikan yang sekarang ini mengalami kemerosotan mutu pendidikan.

http://www.rudy.isgreat.org