Sabtu, 23 April 2011

KONSEP KEPERIBADIAN DALAM ISLAM

A. Struktur Kepribadian dalam Islam
Struktur kepribadian bisa didefinisikan sebagai aspek atau elemen-elemen yang terdapat dalam diri manusia yang karenanya kepribadian terbentuk. Elemen-elemen psikologis di sini bermakana konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar bagi pembentukan teori psikologi Islam. Asumsi dasar tersebut diformulasi dari pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep Al-Quran tentang manusia.
Formulasi struktur psikis manusia telah banyak dikemukakan oleh para pakar psikologi dengan pendekatan masing-masing. Mulai dari Sigmund Freud sampai sekarang banyak sekali teori-teori kepribadian yang telah dihasilkan dan dengan ciri serta karakteristik khasnya. Namun bagaimana dengan pendapat Al-Quran berkaitan dengan hal ini?
Al-Quran menggunakan istilah yang beragam dalam menjelaskan manusia. Berbagai istilah tersebut, jika disusun berdasarkan karakteristik yang dipahami dari uraian-uraian seputar pengguanaan istilah manusia dalam Al-Quran, kita mendapatkan istilah-istilah al-basyar, al-ins, al-insan, al-unas, an-nas, bani adam, al-nafs, al-aqal, al-qalbar-ruh, dan al-fitrah. Secara implisit Al-Quran menginformasikan bahwa manusia memiliki tiga aspek pembentuk totalitas yang secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek itu adalah jismiyah (fisik, biologis), nafsiyah (psikis, psikologis), dan ruhaniyah (spiritual, transendental).
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Khyr al-Din al-Zarkali, bahwa studi tentang diri manusia dapat dilihat melaui tiga sudut, yaitu jasad (fisik), jiwa (psikis), dan jasad dan jiwa (psikopsikis).
Para ahli umumnya membedakan manusia dari dua aspek saja, yaitu jasad dan ruh. Sedikit sekali yang membedakan antara jasad, ruh, dan nafs, padahal ketiganya memiliki kriteria-kriteria sendiri. Jasad dan ruh merupakan dimensi manusia yang berlawanan sifatnya. Jasad sifatnya kasar dan indrawi atau empiris serta kecendrungannya ingin mengejar kenikmatan duniawi dan material. Sedangkan ruh sifatnya halus dan gaib serta kecendrungannya mengejar kenikmatan samawi, ruhaniyah dan ukhrawiyah.
Esensi yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan subtansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara kedua ensensi ini, sehingga menjadi nafs. Dengan nafs maka masing-masing keinginan jasad dan ruh dalam diri manusia bisa terpenuhi.
Pada umumnya perbedaan pendapat teletak pada pemahaman antara ruh dan nafs. Paling tidak kita bisa mengklasifikasikan menjadi dua asumsi. Asumsi pertama menganggap bahwa ruh dan nafs adalah substansi yang sama. Kedua, asumsi yang menyatakan bahwa ruh dan nafs adalah subtansi yang berbeda. Menurut para sufi, ruh lebih spesifik dari daripada nafs, sebab ruh naturnya asli, sementara nafs memiliki kecendrungan pada duniawi dan kejelekan. Nafs menjadi perantara antara jiwa rasional dengan badan. Menurut Ibnu Abbas manusia memiliki ruh dan nafas. Dengan nafs manusia mampu berpikir dan mampu membedakan mana yang benar dan salah, sebab dalam nafs terdapat akal, sedangkan dengan ruh manusia dapat hidup karena ia merupakan nyawa. Berbeda dengan al-Gazali yang menganggap ruh sebagai nyawa yang selalu ada pada tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan nafs hanya ada pada diri manusia yang memiliki daya berpikir. Nafs bersifat seperti tanah dan bersifat kemanusiaan, sedangkan ruh bersifat seperticahaya dan bersifat ketuhanan.
Beberapa pendapat tersebut mendiskripsikan bahwa antara ruh dan nafs berbeda. Ruh adalah urusan Allah dan hakikatnya hanya Ia yang mengetahuinya. Sementara nafs adalah apa yang ada pada manusia yang merupakan sinergi antara jasad dan ruh. Sinergi psikofisik inilah yang akan melahirkan perilaku, baik perilaku lahir maupun batin.
1. Struktur Jisim
Jisim adalah aspek diri manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Setiap alam biotik lahiriah memiliki unsur material yang sama yaitu tanah, api, air, dan udara. Manusia dikatakan makhluk biotik yang sempurna karena unsur-unsur pembentukan materialnya bersifat proporsional antara keempat unsur tersebut.
Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik. Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik. Energi kehidupan ini lazim disebut sebagai nyawa, al-Hayah sebutan Ibnu Maskawih dan al-ruh jasmaniyah (ruh material) sebutan al-Gazali. Daya hidup ini merupakan vitalitas fisik manusia. Vitalitas ini tergantung sekali pada konstitusi fisik, seperti susunan sel, urat, darah, daging, tulang, sum-sum, kulit, rambut dan sebagainya. Dengan daya ini manusia bisa bernapas, merasakan sakit, panas-dingin, manis-pahit, haus-lapar, seks dan sebagainya. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa jismiah memiliki dua natur, natur konkret berupa tubuh kasar yang tampak, dan natur abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sumber kehidupan tubuh. Aspek abstrak inilah yang berjasa sehingga jasad mampu berinteraksi dengan ruh.
Daya hidup pada manusia memiliki batas, batas itu disebut sebagai ajal. Apabila batas energi tersebut telah habis, tanpa sebab apapun manusia akan mengalami kematian. Daya hidup ini terletak pada semua organ manusia yang sentralnya terletak pada jantung. Apabila organ vital ini rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka daya hidup itu akan lepas dari tubuh manusia dan terjadilah dengan apa yang disebut kematian, walaupun daya hidup itu belum habis waktunya.
Selain itu aspek jismiah ini megikuti sunnatullah. Pada ranah ini, manusia merupakan bagian integral dari alam material, berasal darinya dan akan kembali kepadanya. Pada wilayah fisik biologis ini, berlaku hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku pada benda-benda fisik-material lainnya. Jadi pada sisi ini, manusia sama dengan benda-benda material hidup lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari keseluruhan sistem totalitas fisik-psikis, maka aspek jismiah memainkan peranan penting sebagai sarana untuk mengaktualisasikan fungsi aspek nafsiah dan aspek ruhaniah dengan berbagi dimensinya. Dalam Al-Quran dijelaskan beberapa fungsi aspek jismiah yang membantu cara kerja aspek psikis lainnya. Kulit sebagai alat peraba (QS. Al-An’am:7), hidung sebagi alat pencium (QS. Yusuf: 94).
Proses penciptaan jasmani dalam Al-Quran terbagi atas beberapa tahapan. Maurice Bucaille menyatakan bahwa proses penciptaan fisik manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu dari tanah bagi manusia pertama (Adam) dan dari asal dekat yaitu dari perpaduan sperma-ovum bagi anak cucunya.
Sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa aspek jismiah memiliki beberapa karakteristik, seperti memilki bentuk, rupa, kuantitas, berkadar, bergerak, diam, tumbuh, berkembang, serta jasad yang terdiri dari berbagai organ, dan bersifat material yang sebenarnya substansinya mati. Kehidupannya adalah karena dimotori oleh substansi lain, yaitu nafs dan ruh. Dengan kata lain aspek jismiah ini bersifat deterministik-mekanistik.
2. Struktur Ruh
Struktur ruh memberikan ciri khas dan keunikan tersendiri bagi psikolgi Islam. Ruh merupakan substansi psikologis manusia yang menjadi esensi keberadaannya. Hal ini berbeda dengan psikologi kepribadian Barat yang hanya memahami ruh sebagai spirit yang accident. Sebagai substansi yang esensial, ruh membutuhkan jasad untuk aktualisasi diri. Ruhlah yang membedakan antara eksisitensi manusia dengan makhluk lainnya.
Ruh adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual dan transendental. Dikatakan bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Potensi luhur tersebut merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh atau spiritual adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirnya. Inilah yang disebut sebagai potensi luhur batin manusia. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi psikis manusia dan memerlukan aktualisasi. Aktualisasi potensi luhur batin tersebut menjadi wilayah empiris-historis keberadaannya sebagai aspek psikis manusia. Jadi proses aktualisasi potensi luhur batin manusia itu merupakan sisi empirik dari transendensi sifat-sifat Allah dalam diri manusia.
Pewujudan dari sifat-sifat dan daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam dirinya untuk menjadi Khalifah Alllah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Dengan kata lain, dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewjud secara aktual sebagai khalifah Allah.
Selain itu ruh juga bersifat transendental karena merupakan dimensi psikis manusia yang mengatur hubungan manusia dengan yang Maha Transenden. Fungsi ini muncul dari dimensi al-fitrah. Sama halnya dengan dimensi al-ruh dimensi al-fitrah juga bersumber dari Allah. Perbedaannya terletak pada dimensi al-ruh dipandang dari sudut kapasitas hubungannya dengan alam atau hablun minannas, sementara al-fitrah dipandang dari sudut kapasitas hubungannya dengan Allah atau hablun minallah. Kalau al-ruh bermuara pada khalifah, maka al-fitrah bermuara pada Abdullah. Di sinilah dapat dimengerti bagaimana hubungan keduanya sebagai tugas ganda manusia di dunia.
Sampai saat ini belum ada yang memahami hakikat ruh secara pasti, karena ruh merupakan sebuah misteri ilahi yang terus digali esensinya. Para ilmuan muslim belum menemukan kesepakatan dalam menentukan definisi ruh. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ruh merupakan urusan dan atau hanya dipahami oleh Allah. Manusia sama sekali tidak memahaminya kecuali sedikit (QS. Al-Isra: 85). Namun setidaknya, pendapat para ahli tentang hakikat ruh dapat diklasifikasikan menjadi tiga.
Pendapat yang pertama adalah materialisme, ruh merupakan jisim atau materi, sekalipun berbeda dengan jisim jasmani. Ruh ada pada tubuh manusia dan menjadikan kehidupan, gerak, merasa, dan berkehendak. Ruh adalah persenyawaan yang harmonis antar keempat unsur. Pembedaan karakter manusia ditentukan oleh perbedaan komposisi keempat unsur tersebut. Ruh adalah jawhar basith, yakni substansi sederhana dan kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan nyawa (al-hayah).
Pendapat yang kedua adalah spiritualisme, ruh merupakan substansi yang bersifat ruhani dan tak satupun cirinya bersifat jasmani. Para spiritualis berpendapat bahwa ruh adalah jawhar ruhani. Ruh tidak terusun dari materi, sebab dia abstrak dan dapat menangkap beberapa bentuk sekaligus. Proses penciptaannya sekaligus tidak seperti proses penciptaan biologis. Ia bukan merupakan gabungan dari beberapa unsur, meskipun memiliki beberapa daya. Ruh merupakan unsur kelima selain keempat unsur. Oleh karena itu, ruh bukanlah bersifat material. Ruh adalah al-qudrah al-ilahiyah (daya ketuhanan), yang tercipata dari alam perintah (al-amr) sehingga sifatnya bukan jasadi. Sedangkan yang terakhir adalah gabungan antara materialisme dan spiritualisme, ruh merupakan ,kesatuan jiwa dan badan.
Dari pendapat diatas, dapat dipahami bahwa ruh memiliki tiga kemungkinan. Pertama ruh merupakan nyawa. Ia bukan jisim tetapi yang menghidupkan jisim. Ruh merupakan aksiden, yaitu sesuatu yang baru dan singgah pada subatansi jisim. Ia ada jika jisim ada dan menghilang apabila jasadnya rusak atau mati. Kedua ruh sebagi substansi halus yang menyatu dengan badan manusia di dalam khalq (penciptaan). Ruh terkait dengan hukum jasmani sebagaimana ruh terkait oleh hukum ruhani. Ruh inilah yang disebut sebagai nafs. Ketiga ruh sebagai substansi ruhani yang berasal dari alam amar dan sedukitpun tidak terkait dengan alam khalq yang terdiri dari alam jasmaniah. Ruh ini merupakan esensi manusia yang bersaksi dan diberi amanah di dalam perjanjian.
Ruh adalah substansi yang memilki natur sendiri. Menurut beberapa ajli ruh memilki natur:
a. Kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi dan memilki kehidupan dengan daya
b. Berasal dari alam perintah yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia berasal dari Allah, kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya.
c. Ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat mengetahui, dan sebagainya. Ia juga sebagi penggerak bagi keberadaan jasad manusia serta sifatnya gaib.
d. Ruh sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awal ini karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh menunjukkan jasad yang terdiri dari organ-organ.
Kesendirian ruh memiliki natur multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Hal itu dapat dicontohkan ketika manusia sedang tidur. Karena tidak dibatasi ruang dan waktu, ruh pun mampu menembus lorong waktu baik pada masa lampau maupun masa depan. Waktu berjalan seiring dengan ruang, dan manusia dengan segala potensinya menjadi pengisi watu dan ruang itu. Jika waktu dan tempat pada masa lampau menghilang berarti tidak ada pertanggung jawaban, jika waktu dan tempat belum ada untuk masa depan berarti tiada keimanan pada hari akhir.
Kematian jasad bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut hadis Nabi, bahwa kesiapan itu ketika berusia empat bulan dalam kandungan (HR al-Bukhari dan Ahmad Ibn Hambal) pada saat inilah ruh berubah sifat menjadi al-nafs.
Ruh mersakan kenikmatan yang luar biasa ketika ia terlepas dari jasad. Kematian jasad merupakan awal bagi kebahgiaan ruh yang hakiki. Kondisi ini berlaku jika ruh yang dimaksud merupakan ruh yang suci dan kesuciannya diterima. Apabila ruh tersebut merupakan yang kotor, maka ia mendapat siksaan. Ruh yang baik bertempat pada alamnya (alam ruhani), sedang ruh yang kotor bertempat di alam jasadi.
Apabila kita pandang dari term ini, secara teoritis ruh dibagi menjadi dua, yaitu ruh yang masih murni berhubungan dengan zatnya sendiri (al-munazzalah) dan ruh ruh yang berhubungan dengan jasmani (nafsiyah). Disebut munazzalah karena keadaan potensi ini begitu saja diberikan tanpa adanya daya upaya atau pilihan. Potensi ini diciptakan di alam immateri (‘alam al-arwah) atau di alam perjanjian (‘alam mistaq atau ‘alam al-‘ahd). Keberadaannya telah ada sebelum tubuh manuisa tercipta, sehingga sifat potensi ini sangat gaib yang adanya hanya diketahui melaui informasi wahyu. Ruh ini dikatakan sebagai potensi fitrah atau alamiah yang menjadi esensi manuisa. Fungsinya berguna memberikan motivasi tingkah lakunya. Ruh ini membimbing dinamika kehidupan ruh nafsani (al-gharizah) manusia. Ruh al-gharizah yang dimotivasi oleh munazzalah akan menerima pancaran nur ilahi yang suci yang menerangi ruangan kalbu manusia, meluruskan akal budi dan mengendalikan impuls-impuls rendah.
Perwujudan dari munazzalah ini adalah amanah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Dalam Al-Quran (al-Azhab: 72) dinyatakan bahwa amanah adalah penerimaan pancaran ilahi yang dilakukan tanpa perantara. Amanah memasuki wilayah ketuhanan yang memilki sifat sempuran untuk beribadah dengan berbekal ilmu dan amal.
3. Struktur Nafs
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. aspek ini merupakan persentuhan antara aspek jismiah dan ruhaniah. Telah dikatakan sebelumnya bahwa kedua aspek ini saling membutuhkan, di mana antara keduanya saling berlawanan satu sama lainnya. Di sinilah letak aspek nafsiah berada, yang berusaha mewadahi kedua kepentingan yang berbeda itu. Dengan kata lain nafs memiliki natur gabungan antara jasad dan ruh. Apabila ia berorientasi pada natur jasad maka tingkah lakunya menjadi buruk dan celaka, tetapi apabila mengacu pada natur ruh maka kehidupannya menjadi baik dan selamat. Dengan redaksi yang berbeda, nafs juga dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk. M. Quraish shihab menjelaskan, pada hakikatnya potensi positif lebih kuat daripada potensi negatif. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada kebaikan kepada nafs. Untuk itulah manusia senantiasa dituntut untuk memelihara kesucian nafsnya.
Nafs adalah potensi jasadi-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak jasad manusia siap menerimanya. Potensi ini secara otomatis mengikuti hukum jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada daya ini bersifat potensial, tetapi ia dapat mengaktual jika manusia mengupayakannya. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualitas nafs ini merupakan citra kepribadian manusia, yang aktualisasi itu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan, lingkungan, dan sebagainya.
Nafs merupakan alam yang tak terukur besarnya karena ia merupakan miniatur alam semsta atau mikrokosmos. Segala apa yang ada di alam semesta tercermin di dalamnya. Demikian juga apa saja yang terdapat dalam daya ini terdapat juga pada alam semesta. Jargon yang sering kita dengar “manusia adalah mikrokosmos, sedang kosmos adalah manusia makro” mengacu pada pemahaman ini.
Nafs memiliki potensi gharizah (insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan, sifat bawaan). Namun secara terminologi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama orientasinya pada semua spesies biotik. Menurut Chaplin, insting adalah suatu reaksi yang kompleks dan tidak dipelajari yang menjadi sifat khas suatu spesies. Akar tumbuhan yang mencari air, anak menangis jika lapar, lebah membuat sarangnya, adalah contoh-contohnya.
Kedua, orientasinya pada manusia tetapi mangarah pada gejala somatik. Freud, insting merupakan bagian dari id dan perwujudan dari suatu sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir. Perwujudan somatisnya disebut sebagi hasrat, sedangkan darimana hasrat itu muncul disebut kebutuhan.
Ketiga orientasinya pada manusia tetapi mangarah pada kejiwaan. Mac Dougall, insting adalah keadaan pembawaan yang menjadi pendorong atau sebab timbulnya perbuatan. Ghazirah mengacu pada insting yang ketiga dimana ghazirah merupakan potensi laten yang ada pada psikofisik manusia yang dibawa sejak lahir dan menjadi pendorong serta penentu tingkah laku manusia.
Nafs sebagai elemen dasar psikis manusia mengandung arti sebagai satu dimensi yang memiliki fungsi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia. Secara esensial nafs juga mewadahi potensi-potensi dari masing-masing dimensi psiksis, berupa potensi takwa (baik, positif), maupun potensi jujur (buruk, negatif).
Aspek nafsiah memiliki tiga dimensi utama, yaitu al-nafs, al-‘aql, dan al-qalb. Ketiga dimensi inilah yang menjadi sarana bagi aspek nafsiah untuk mewujudkan peran dan fungsinya.
a. Dimensi al-nafs (hawa nafsu)
Dimensi ini adalah dimensi yang meilki sifat kebinatangan dalam system psikis manusia. Namun demikian ia dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah bersinergi dengan dimensi lainnya.
Nafsu sebagi daya nafsani memilki banyak pengertian. Pertama, nafsu merupakan nyawa manusia, yang wujudnya berupa angin yang keluar masuk di dalam tubuh manusia. Kedua, nafsu merupakan sinergi jasmani-ruhani manusia dan merupakan totalitas struktur kepribadian manusia. Ketiga, nafsu merupakan bagian dari daya nafsani yang memilki dua daya, ghadabiyah dan syahwaniyah. Ghadab merupakan daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari yang membahyakan. Ghadab memilki potensi hawa nafsu dengan natur seperti binatang buas, menyerang, membunuh merusak, menyakiti, dan membuat yang lain menderita. Ketika potensi ini dikelola dengan baik, maka ia menjadi kekuatan atau kemampuan (qudrah). Syahwat adalah daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan. Berbeda dengan ghadab, syahwat memilki natur binatang jinak, naluri dasar seks, erotisme, dan segala tindakan pemuasan birahi.
Prinsip kerja hawa nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls agresif dan seksualnya. Apabila impuls ini tidak terpenuhi maka terjadilah ketegangan. Apabila manusia mengumbar dominasi hawa nafsu maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi secara baik. Manusia model ini sama dengan binatang bahkan lebih (QS al-A’raf: 179).
Hawa nafsu berorientasi pada jasad, yang kekuatan utamanya adalah indra. Daya indrawi hawa nafsu, seperti Ibnu Sina, ada dua macam indara lahir (external senses) yang berupa panca indra dan indra batin (internal senses). Indra batin terdiri dari:
1) indra bersama, yang berfungsi menerima, mengatur, dan mengoordinasi bentuk dari semua benda yang diserap panca indra.
2) Imagenasi retentif, yang berfungsi sebagai representasi, yaitu melestarikan informasi iag diterima indra bersama yang disalurkan kepada daya yang lain sehingga membentuk gambar suatu benda dalam pikiran.
3) Imagenasi kompositif, yang berfungsi memisahkan dan menggabungkan kembali gambar yang telah diterima imagenasi retentif.
4) Estimasi, yang menangkap makna dan tujuan yag ada pad benda indrawi. Pada manusia daya ini dapat digunakan untuk menilai mana yang dipercaya mana yang fantasi.
5) Memori dan Rekoleksi, yang berfungsi sebagai gudang penyimapanan untuk melestarikan makna utau tujuan daya-daya sebelumnya.
b. Dimensi Al-‘Aql
Dimensi akal adalah dimensi psikis yang berada antara nafsu dan qalb. Akal menjadi perantara dan penghubung antar kedua dimensi tersebut berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniyah pada psikis manusia. Akal merupakan bagian dari daya insani yang memilki dua makna. Akal jasmani, yang lazim disebut sebagai otak dan akal ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan.
Akal mampu mengantarkan manusia pada esensi kaemanusiaan. Akal merupakan kesehatan fitrah yang memilki daya pembeda antara yang baik dan buruk. Term ini dapat dipahami bahwa akal adalah daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan hakikatnya.
c. Dimensi Al-Qalb
Kalbu merupakan salah satu daya nafsani. Al-Ghazali secara tegas melihat kalbu dari dua aspek yaitu kalbu jasmani adalah komponen fisik dan kalbu ruhani adalah komponen psikis yang menjadi pusat kepribadian. Kalbu ruhani memilki karakteristik yaitu, insting yang disebut nur ilahi dan mata batin yang memancarkan keimanan dan keyakinan.
Kalbu berfungsi sebagai pemandu, pengontol, dan pengendali semua tingkah laku manusia. Kalbu mamilki natur ilahiyah yang merupakan aspek supra kesdaran. Dengan natur ini manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosial, juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Aspek ini juga mencakup daya insani misalnya daya indrawi (penglihatan dan pendengaran), daya psikologis seperti kognisi, emosi (intuisi yang kuat dan afektif), konasi (beraksi, berbuat, berusaha).

B. Dinamika Kepribadian Dalam Psikologi Islam
Sebelumnya telah dikatakan bahwa struktur jasmani atau jasad bukan dipersiapkan untuk membentuk tingkah laku tersendiri, melainkan sebagai wadah atau tempat singgah struktur ruh. Struktur jasmanai sendiri tidak akan mampu membentuk suatu tingkah laku lahiriah apalagi tingakah laku batiniah. Struktur jasmani memilki daya dan energi yang membangkitkan proses fisiknya. Energi ini lazim disebut sebagai daya hidup (al-hayah). Daya ini kendatipun sifatnya abstrak, tetapi ia belum mampu menggerakkkan suatu tingkah laku. Suatu tingkah laku dapat terwujud apabila struktur jasmani telah ditempati struktur ruh.
Manusia dalam kansepsi kepribadian Islam merupakan makhluk mulia yang memiliki struktur kompleks. Banyak di antara psikolog kepribadian barat, khususnya aliran behavioristik, kurang memperhatikan substansi jiwa manusia. Manusia hanya dipandang dari sudut jasmaniah saja yang mengakibatkan penelitian yang dilakukan seputar masalah lahiriah. Mereka banyak melakukan eksperimen terhadap tingkah laku binatang dan hasilnya digunakan untuk memotret tingkah laku manusia. Teori tingkah laku binatang disamakan dengan teori tingkah laku manusia. padahal struktur kepribadian manusia selain struktur jasmaniah juga terdapat struktur ruh yang mana keduanya merupakan subsatansi yang menyatu dalam struktur nafsani. Oleh karena itu, pemahaman kepribadian manusia tidak hanya tertumpu pada struktur jasmani melainkan harus juga meliputi struktur ruh.
Lebih jauh konsep yang berkembang dari psikologi pada umumnya menafikan hal yang berbau metafisik, transendental, dan spiritualitas. Ruh dikatakan sebagai tempat bersemayamnya spiritualitas (fitrah) yang mengarah pada sesuatu yang transenden untuk merepresentasikan sifat-sifat Tuhan dengan potensi luhur batin melalui proses aktualisasi yang dimotori oleh amanah atau pancaran Ilahi. Inilah yang menjadi motivasi tingkah laku manusia.
Manusia adalah mandataris Allah di dunia yang dituntut untuk berkepribadian baik sesuai dengan amanah yang dititipkan padanya. Ruh membutuhkan agama dan eksistensinya sangat tergantung pada kualitas keberagamaannya. Keberadaan agama dalam kepribadian Islam memiliki peran penting yang terdiri dari imaniyah-ilahiyah (berupa rukun iman), ubudiyah-ilahiyah (rukun islam), mu’amalah-ilahiyah (aktivitas keseharian yang dilandasi nilai keimanan), dan mu’amalah insaniyah (aktifitas keseharian yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan).
Pertama dan kedua merupakan kepribadian ilahiyah, sedangkan ketiga dan keempat merupakan kepribadian insaniyah. Dari pertama sampai ketiga seluruh perilaku manusia dinilai sebagai ibadah yang merupakan aktualisasi dari ajaran agama. Inilah yang disebut sebagai kepribadian Islam.
Perpaduan struktur jasmani dan ruhani selanjutnya diwadahi oleh struktur nafsani yang di dalamnya terdapat potensi baik dan buruk. Sebagaimana dikatakan di atas, struktur ini memilki tiga komponen, nafsu, akal dan kalbu. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi satu sama lain dalam pembentukan kepribadian.interaksi ketiga system nafsani ini berjalan menurut dua alternativf. Pertama, menurut Ibnu Miskawaih interaksi daya jiwa berjalan menurut hokum harmonisasi antara berbagai system yang berpusat pada fakultas berpikir. Keutamaan berpikir adalah kerarifan, keutamaan ghadab adalah berani dan keutamaan syahwat adalah iffah. Dengan begitu ghadab dan syahwat bukanlah potensi yang buruk. Baik buruknya sangat tergantung pada interaksi yang harmonis dengan fakultas berpikir. Kedua, menurut Ghazali dan Ibnu Arabi interaksi daya-daya nafsani berjalan menurut hokum dominasi. Masing-masing daya ini, jalbu naturnya baik, nafsu naturnya buruk, dan akal naturnya baik dan buruk. Kesemua daya iniberpusat pada kalbu.
Begitu unik cara kerja sistem-sistem ini, sehingga salah satu komponennya berkemungkinan untuk mendominasi komponen lainnya. Cara kerja yang demikian itu terjadi apabila kepribadian telah berbentuk aktual bukan potensial. Artinya, perebutan sistem nafsani karena mengikuti kemauan dan keinginan Aku-nya seseorang.

Sumber : http://www.blogster.com