Minggu, 15 November 2009

Pendidikan Harus Mahal

Oleh: A. Mudhfar Ma’ruf

Banyak di antara kita yang memandang pendidikan sebagai hal yang kedua di dalam kehidupan ini. Pikiran kita sering terbawa dan terpengaruh oleh pikiran kaum urban yang terus menggerogoti otak masyarakat Indonesia. Di antaranya banyak yang percaya (baca: yakin) bahwa kesuksesan hidup ini ditentukan oleh harta dan tahta (kedudukan). Kalau tidak kaya tidak akan makan, kalau tidak punya kedudukan tidak akan terhormat. Salah satu contoh kecil, banyak para orang tua yang bertanya kepada anak-anak mereka kelak mau jadi apa.
Pertanyaan tersebut boleh dan sah-sah saja bahkan dianjurkan untuk memotivasi anak dengan cita-cita yang positif. Namun pertanyaan tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja, karena hal tersebut akan menyebabkan mereka terpaku dengan angan-angan mereka yang akhirnya berakibat munculnya generasi yang tulul amal (panjang angan-angan). Kalau angan-angan tersebut tidak terpenuhi bisa-bisa mereka akan stres. Pertanyaan tersebut harus diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Misalnya: ”Kalau ingin jadi polisi harus pintar atau bodoh? Kalau ingin pintar harus rajin belajar atau tidak? Sekolahnya di mana? Yang bagaimana? Atau beberapa contoh pertanyaan lainnya.

Tingkatkan Standar Pendidikan
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun selalu menjadi program pemerintah. Salah satunya dengan ditetapkannya UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kualitas pendidikan ditentukan oleh penyempurnaan integral dari seluruh komponen pendidikan seperti kualitas guru, penyebaran guru yang merata, kurikulum, sarana dan prasarana yang memadai, suasana PBM yang kondusif, dan kualitas guru yang meningkat dan didukung oleh kebijakan pemerintah.
Keinginan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang bermutu semakin lama semakin meningkat seiring dengan kesadaran akan pembangunan yang tidak pernah berhenti. Hal ini disadari oleh pemerintah untuk terus membenahi sistem pendidikan bangsa. Munculnya konsep Sekolah Standar Nasional (SSN) merupakan salah satu tuntutan pasar yang berkembang. Apalagi, pasal 35 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan kita memiliki Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP mencakup standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
Menurut Tilaar, Pendidikan harus punya standar. Kenapa? Karena standarisasi pendidikan nasional adalah sebuah kebutuhan dan tuntutan, baik tuntutan politik, tuntutan globalisasi, dan tuntutan dari kemajuan (progress). Namun harus diingat, bahwa standar tersebut bukanlah hal yang kaku atau hanya menjadi sertifikat yang bisa berpuas dan berbangga diri secara formalitas, tetapi standar yang harus dipenuhi dan diupayakan untuk terus-menerus ditingkatkan.
Langkah Depdiknas untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu didukung sekolah dan para stakeholdernya, yaitu siswa, orang tua siswa, pengguna lulusan, dan kelompok masyarakat lain. Selama ini apabila membicarakan masalah mutu SDM yang rendah, institusi pendidikan sebagai salah satu yang dipermasalahkan. Hasil survei lembaga konsultan dari Hong Kong, The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyimpulkan, SDM berkualitas rendah karena mutu sistem pendidikan yang rendah.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita semua perlu melihat dengan lebih seksama kepada pendidikan anak-anak kita, terutama kepada lembaga pendidikan di mana anak kita belajar. Saatnya kita perlu bertanya: ”Kenapa anak kita lebih rajin jika belajar mata pelajaran tertentu dan malas jika belajar pelajaran yang lain? Kenapa anak kita semangat berangkat sekolah pada hari dan waktu tertentu? Kenapa antara sekolah A dan sekolah B kompetensi lulusannya tidak sama? Kenapa anak kita tidak pernah memenangkan perlombaan ilmiah mewakili sekolahnya yang bonafit dan SPP-nya mahal? Sedangkan anak tetangga sering mendapatkan penghargaan dalam lomba yang sama mewakili sekolahnya yang SPP-nya jauh lebih murah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas harusnya menjadi momok bagi orang tua demi pendidikan anak mereka. Namun sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa diwakili dengan satu pertanyan: Bagaimana memilih sekolah yang baik untuk anak-anak kita?

Carilah Sekolah yang Mahal
Banyak kiat yang bisa dilakukan para orang tua untuk mendapatkan pendididkan yang bagus buat anak-anak mereka. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendidikan bangsa. Namun di forum yang terbatas ini penulis tidak akan mengulasnya terlalu luas. Penulis hanya mensitir dari buah pikiran pemerintah tentang standarisasi pendidikan dan mengemasnya dengan lebih praktis agar bisa langsung diketahui oleh para orang tua, guru, dan pimpinan sekolah serta masyarakat. Untuk meningkatkan pendidikan bangsa harus dimulai dari yang kecil yang bisa dilakukan yaitu dengan me-mahal-kan pendidikan di sekolah.
1. Guru harus Mahal
Guru menempati posisi pertama karena guru menjadi ujung tombak berhasilnya pendidikan. Oleh karena itu guru dituntut untuk :
a. Efektif dan Profesional, keberadaan seorang guru di kelas atau di suatu sekolah betul-betul menjadi suatu yang patut diperhitungkan. Guru dituntut untuk betul-betul siap menjadi seorang pendidik. Dengan perencanaan, persiapan dan bahan ajar serta evaluasi yang siap disampaikan kepada anak didik. Jangan sampai sekolah harus dibuat kecewa atau menyesal karena telah mengangkat dan menggaji tenaga pengajar yang wujuduhu ka ’adamihi (keberadaannya sama dengan ketiadaannya).
b. Cerdas dan Kreatif, seorang guru ketika berada di kelas seperti seorang pesulap dihadapan penonton. Ia bisa menghipnotis anak didiknya sehingga si anak didik suka dan terbawa kepada pelajaran yang disampaikan. Guru yang diharapkan keberadaannya di kelas dan disesali apabila berhalangan hadir. Bukan sebaliknnya, guru yang disesali keberadaannya dan disenangi apabila absen. Oleh karena itu guru harus inovatif, tahu dan peka kapan anak didik semangat ataupun bosan. Guru dituntut untuk terus belajar dan mengetahui model-model pembelajaran yang bisa meningkatkan semangat belajar anak.
c. Dedikatif dan Konstruktif, guru adalah sosok yang bisa digugu lan ditiru, bukan guru yang diguyu lan ditinggal turu (ditertawakan dan ditinggal tidur). Guru menghadapi anak didik laksana orang tua menghadapi anaknya sendiri. Guru harus berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik untuk anak didiknya. Guru tidak boleh sekali-kali meng-kambinghitam-kan anak didik karena rendahnya kualitas pembelajaran. Para guru harus menghayati ungkapan yang dikatakan John Dewey: ”Tidak ada anak didik yang tidak bisa dididik, yang ada adalah pendidik yang tidak bisa mendidik”.
2. Kepala Sekolah harus Mahal
Kepala sekolah mempunyai sumbangsih yang sangat besar atas keunggulan suatu sekolah. Tidak pernah ada ceritanya sekolah yang bagus dan berkualitas, memiliki kepala sekolah yang bermutu rendah. Sekolah yang bermutu tinggi pastilah memiliki kepala sekolah yang juga bermutu tinggi. Oleh karena itu untuk memilih sekolah yang bagus, lihatlah terlebih dahulu, apakah sekolah tersebut dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang hebat.
Ciri-ciri kepala sekolah yang mahal:
a. Organisator bukan kompor, kepala sekolah harus menguasai teknik-teknik leadership (kepemimpinan), management, staffing (pengangkatan anak buah) dengan baik dan benar selain memiliki kepribadian yang bagus, disiplin, berwibawa, dan dedikatif. Sebab kepala sekolah menjadi top figur yang harus ideal bagi guru, pegawai, dan siswa. Bukan sosok yang bisa mengatur orang lain tapi ia sendiri melanggar atas aturan yang dibuat oleh dirinya sendiri.
b. Motivator bukan provokator, kepala sekolah harus bisa memberikan motivasi terhadap lingkungan sekolah dengan mengadakan pendekatan terhadap perbaikan pengajaran dengan empat aspek: disiplin, prestasi, sikap, dan kepribadian. Sehingga semua komponen sekolah ikut proaktif membangun sekolah. Jangan menjadi kepala sekolah yang menyiram air dalam kobaran api.
c. Supervisor bukan komentator, melakukan pemantauan dan evaluasi secara kontinyu. Menjadi pimpinan yang selalu mengawal dan mendampingi efektifitas sekolah, bukan pimpinan yang hanya bisa menilai dan menyalahkan orang lain. Sebagaimana ungkapan John Dewey: ”Tidak ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada adalah kepala sekolah yang membuat guru tidak bisa mendidik”.
3. Sarana Pendidikan harus Mahal
Sarana penddidikaan adalah media belajar yang bisa menunjang terhadap pembelajaran sesuai dengan fungsinya. Keberadaan sarana belajar di sekolah harus:
a. Lengkap sesuai dengan kebutuhan, lengkap berarti mencukupi sebagai sarana belajar, berfungi dengan baik sesuai dengan kebutuhan pendidikan di sekolah dan tidak harus mahal.
b. Tepat guna sesuai kemampuan, tepat guna berarti sarana yang ada betul-betul berfungsi sebagai sarana belajar, jangan sampai keberadaan sarana memberatkan terhadap efektifitas belajar yang lain, jika tidak mampu mendapatkan sarana belajar yang lengkap bisa mencari atau menggunakan sarana belajar alternatif yang mudah, murah dan terjangkau.
4. Biaya Pendidikan harus Mahal
Yang dimaksud dengan sumbangan pendidikan harus mahal bukan berarti kita harus menaikkan uang Syahriyah bulanan dan menekan para oranng tua untuk membayarnya. Namun kita harus memastikan efektifitas dan efisiensitas uang pendidikan yang dibayarkan oleh orang tua siswa tersebut. Uang bulanan harus tepat sasaran kepada peningkatan kualitas belajar mengajar di sekolah. Yang dimaksud biaya yang mahal di sini terletak faktor kualitas pendidikan dan faktor manusia yang menjalankan pendidikan di dalamnya. Dengan gaji yang tidak banyak itu kepala sekolah, para guru, pegawai sekolah dan siswa dengan semangat terus menerus melaksanakan belajar mengajar demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat mahal.
5. Sumbangan Orang Tua dan Masyarakat harus Mahal
Selain faktor-faktor dari dalam institusi sekolah, yang tidak kalah penting adalah faktor dari luar sekolah, yaitu dukungan dari orang tua siswa dan dukungan dari masyarakat. Karena tanpa adanya kepercayaan dan dukungan penuh dari mereka, sebesar apapun sekolahnya, selengkap apapun fasilitas sarana belajarnya hal itu akan menjadi sia-sia.

Pendidikan memang Harus Mahal
Para orang tua dihimbau agar mempunyai perhatian seimbang terhadap konsumsi perut (pangan) anak-anak mereka dan konsumsi untuk otaknya (pendidikan). Perhatian terhadap pendidikan anak tidak hanya sebatas yang penting mereka bisa sekolah, berangkat pagi pulang siang atau sore. Namun kita juga dituntut untuk memperhatikan proses pendidikan yang sedang mereka tempuh. Apakah setelah pulang sekolah mereka membuka lembar pelajaran kembali (muthola’ah)? Selain itu, kita juga dianjurkan untuk memperhatikan lembaga pendidikan yang meng-inject otak anak-anak kita dengan ilmu pengetahuan. Apakah sekolah tersebut betul-betul bisa dipercaya untuk membuat anak-anak kita menjadi seperti yang kita harapkan? Apakah sekolah yang kita percayai tersebut mempunyai sistem yang bagus yang dapat mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi bangsa yang berkualitas.
Untuk mencetak generasi yang berkualitas maka pendidikan bagi anak-anak kita juga harus berkualitas. Pendidikan tersebut harus bermutu tidak asal-asalan. Dengan kata lain pendidikan tersebut harus mahal dan tidak murahan. Sebab, walau dengan input yang murah namun diprosess dengan mahal, besar kemungkinaan outputnya juga akan menjadi mahal. Semoga.

KESALEHAN TERHADAP ALAM

Oleh: H. Salahuddin Wahid

Dalam Ramadhan kita banyak kesempatan untuk menikmati materi dakwah yang amat baik. Kebanyakan dakwah tersebut mendorong kita untuk meningkatkan kesalehan bersifat personal yang meliputi ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, tadarrus, selawat, dan mempelajari agama Islam.

Juga banyak materi dakwah tentang kesalehan sosial seperti menolong orang yang membutuhkan –baik materi, tenaga maupun pikiran, aktif dalam organisasi nirlaba dengan niat tulus.

Saya pernah membuat tulisan di Jawa Pos tentang kesalehan profesional , yaitu kesalehan dalam pekerjaan dan profesi.

Seseorang bisa mempunyai kesalehan personal dan kesalehan sosial, tetapi tidak mempunyai kesalehan profesional. Dia taat menjalankan ibadah mahdhah dan membantu orang lain serta masyarakat yang membutuhkan, tetapi dia menyalahgunakan kekuasaaan dan memanipulasi profesi untuk keuntungan pribadi/kelompok. Menurut saya kalau tidak mempunyai kesalehan profesional, kesalehan personal dan kesalehan sosial tidak punya nilai.

Kelalehan Terhadap Alam

Ada kesalehan lain yang perlu disampaikan dalam dakwah kita, yaitu kesalehan terhadap alam. Kesalehan ini hanya dikenal di kalangan yang amat terbatas. Apakah membahas kesalehan terhadap alam itu sesuatu yang wajar atau mengada-ada?

Islam mengajarkan kita untuk memelihara alam. Firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41; “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia , supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 56; “Dan, janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harapan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan”.

Rasulullah dalam pesan kepada tentara Islam yang akan berperang menekankan etika peperangan Islam yang juga mencakup larangan menebang pohon di tempat daerah kita memperoleh kemenangan, kecuali diperlukan.

Melakukan sesuatu yang berakibat timbulnya bencana –lonsong atau banjir- seperti menebang pohon secara berlebihan dan tidak menanmnya kembali, jelas dapat kita masukkan dalam tindakan yang dilarang oleh dua ayat di atas. Upaya mencegah terjadinya bencana yang berakibat fatal itu tentu juga bernilai ibadah.

Tindakan lain yang sering kita saksikan yang termasuk dilarang oleh kedua ayat di atas adalah sembarangan membuang limbah membahayakan dari industri atau RS. Kita saksikan bahwa banyak sungai yang airnya tidak aman lagi untuk digunakan. Tetapi jarang sekali kita mendengar dakwah yang menyentuh tindakan yang sebenarnya melanggar larangan agama itu.

Perubahan Iklim.

Salah satu isu utama internasional adalah perubahan iklim akibat pemanasan global. Ratusan ilmuwan dari berbagai negara terlibat dalam panel Pemerintah Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim (IPCC) yang menghasilkan pengkajian internasional paling komperehensif dan menyeluruh mengenai suatu pokok persoalan ilmiah yang pernah dilakukan. Tindakan mendesak diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO2, guna mencegah terjadinya kerusakan lebih parah.

Kerusakan meluas akibat naiknya permukaan air laut dan semakin sering terjadinya gelombang panas, banjir dan kekeringan, akan terjadi dengan kenaikan sedikit suhu rata-rata dunia. Akibatnya, es di kutub mencair yang menyebabkan permukaan air laut naik beberapa cm pertahun. Dalam beberapa puluh tahun akan makin banyak daratan yang tergenang air.

Salah satu persyaratannya ialah bahwa penggundulan hutan tropis yang menjadi sumber dari 20 persen emisi gas rumah kaca harus dihentikan dalam satu atau dua dekade ini. International Energy Agency mengemukakan, tindakan yang kuat dan tegas perlu dilakukan guna mencegah agar emisi global CO2 tidak lagi meningkat.

Syukur sejumlah negeri Islam mempunyai kepedulian terhadap masalah itu. Oktober 2008 di Kuwait diselenggarakan pertemuan untuk membahas tema “Islam dan Perubahan Iklim” . Di Indonesia sejumlah ilmuwan Islam juga berupaya menumbuhkan kesadaran di kalangan ulama dan cendikiawan Islam Indonesia bahwa ajaran Islam amat memandang penting ikhtiar menjaga kelestarian alam seperti pesan (paling tidak) di dalam dua ayat di atas.

Persepsi Bersyukur

Sebagai khalifatullah fi al ardl kita harus menjaga kelestarian alam supaya tidak rusak dan tetap bermanfaat bagi anak cucu kita. Ternyata, kita tidak mampu menjaganya, yang berarti kita kurang mensyukuri alam Indonesia sebagai nikmat Allah. Padahal, para ulama dan cendikiawan muslim di Indonesia fasih sekali dalam menyampaikan ayat di dalam surat Ibrahim tentang pentingnya bersyukur.

Pesan ayat itu adalah; “apabila kamu bersyukur, akan ditambah kenikmatan itu dan apabila kamu tidak bersyukur , sungguh azab Allah itu sangat pedih”. Karena kita tidak bersyukur dengan tidak memelihara alam itu, kini kita bisa merasakan azab berupa banjir akibat alam yang rusak dan kesulitan air akibat pencemaran air. Persepsi kita tentang bersyukur perlu ditinjau kembali.

Pada 1950-an Indonesia mempunyai hutan seluas 152 juta ha. Jumlah itu turun menjadi 119 juta ha pada 1985 dan kini hanya sekitar 86 juta ha. Dalam 64 tahun luas hutan berkurang 66 juta ha atau 4,8 kali luas Pulau Jawa dan Bali. Kini baru ada sedikit kesadaran untuk menanami kembali hutan yang telah gundul itu.

Memang sudah ada kesadaran dari sejumlah ulama dan pesantren tentang pentingnya kesalehan terhadap alam. Sudah ada yang ikut dalam kegiatan menanam kembali hutan, tetapi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh serius untuk menumbuhkan kesadaran itu yang seluas-luasnya.

Jawa Pos, Jum’at 04 September 2009